Daya Beli Melemah, Kelas Menengah RI Berburu Produk Murah

Ilustrasi

Jakarta, Satuju.com - Sepanjang tahun 2024, Industri ritel menghadapi tantangan besar. Daya beli masyarakat, terutama kelas menengah bawah melemah, memaksa mereka mengubah pola belanja. Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja menjelaskan, kondisi ini berpengaruh terhadap kinerja ritel dan pusat dunia.

“Kinerja industri usaha ritel pada tahun 2024 lalu berada dalam tekanan, terutama akibat melemahnya daya beli masyarakat, terutama yang dialami oleh kelas menengah bawah,” ungkap Alphonzus kepada CNBC Indonesia, Jumat (7/2/2025).

Menurut Alphonzus, uang yang dimiliki masyarakat kelas menengah bawah semakin terbatas, membuat mereka lebih berkecukupan dalam berbelanja.

“Uang yang dipegang oleh masyarakat kelas menengah bawah relatif menjadi semakin sedikit, yang mengakibatkan menurunnya daya beli sehingga masyarakat kelas menengah bawah cenderung membeli barang ataupun produk yang memiliki harga satuan rendah atau kecil atau murah,” ujarnya.

Situasi ini mendorong masyarakat mencari alternatif yang lebih murah, lebih lanjut, termasuk membeli barang impor ilegal. Produk-produk ini dijual dengan harga sangat rendah karena tidak terkena pajak dan pungutan impor resmi. Akibatnya, industri manufaktur dalam negeri semakin terpuruk karena kalah bersaing dengan barang impor ilegal yang membanjiri pasar.

"Sebagaimana diketahui bersama, banyak di antaranya kondisi industri manufaktur semakin terpuruk karena maraknya barang dan produk impor ilegal," kata dia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, meskipun konsumsi rumah tangga tumbuh 4,94% sepanjang tahun, belanja justru tertinggal jauh. Pengeluaran masyarakat untuk pakaian, alas kaki, dan jasa perawatannya hanya tumbuh 2,55% jauh di bawah sektor transportasi dan komunikasi (6,56%) serta restoran dan hotel (6,53%).

Hal ini menunjukkan adanya perubahan pola konsumsi masyarakat. Mereka lebih memilih menghabiskan uang untuk mobilitas dan pengalaman, seperti transportasi, komunikasi, wisata, dan kuliner, daripada membeli pakaian baru. Bahkan hingga pertengahan tahun, pertumbuhan belanja pakaian masih stagnan di angka 1,7% sebelum naik tipis menjadi 2,55% pada kuartal IV-2024.

Di sisi lain, Alphonzus juga menyoroti kebijakan impor yang diterapkan pemerintah berdampak pada kategori usaha sandang, khususnya bagi kelas menengah atas.

“Kondisi ini mendorong mereka untuk berbelanja langsung ke luar negeri karena pilihan produk fashion di dalam negeri menjadi terbatas,” kata Alphonzus.

Meski begitu, katanya, pusat dunia tetap bisa bertahan karena tidak hanya bergantung pada sektor sandang. “Banyak kategori usaha lain yang tumbuh cukup baik pada tahun 2024, sehingga secara keseluruhan, kinerja pusat dunia masih dalam kondisi cukup baik,” tambahnya.

Namun, dengan daya beli masyarakat yang masih tertekan dan persaingan dengan produk impor ilegal yang semakin marak, pelaku industri ritel harus terus beradaptasi. Strategi harga yang kompetitif, produk inovatif, serta pengalaman berbelanja yang lebih menarik bisa menjadi kunci agar industri ritel tetap bertahan di tengah tantangan ekonomi yang ada.