Spesial Edisi Menanggapi Narasi Eggi Sudjana Sang Sahabat Aktivis

Perspektif Subjektif Eggi dalam Konteks Kepemimpinan Prabowo Nyata Objektif

Ilustrasi Presiden Prabowo

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijkan Umum hukum dan Politik)

Terkait Sosok Tokoh Sahabat Penulis, Prof. Dr. H. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., dalam Sebuah Tulisannya, Mutiara Jumat, 21 Februari 2025

Satuju.com - Setelah penulis amati, materi dari narasi Mutiara Jumat, 21 Februari 2025 yang ditulis Eggi adalah buah karya tulisan yang berkualitas. Hal ini dikarenakan sudut pandang narasi Eggi memiliki muatan yang cukup kompleks, mencakup beberapa dimensi yang amat objektif (disertai data dan fakta). Pengupasannya cukup ilmiah, meskipun disampaikan dengan sederhana dan sedikit emosional dalam batasan manusiawi, serta disertai konsep ketuhanan, konstitusi, dan moralitas.

Apa dasar argumentasi bahwa narasi Eggi ilmiah? Tentu ilmiah, karena materi narasi Eggi—yang merupakan senior aktivis dari penulis, termasuk senior banyak aktivis kelompok HMI (HMI MPO) sejak tahun 1980-an—selalu mengutip referensi dari ayat-ayat suci Al-Qur’an dalam konteks ketuhanan dan pola kepemimpinan yang wise (bijak). Apa yang disampaikan Eggi berbobot, jelas arah pembahasannya, serta selalu disampaikan secara to the point, selain berani, sedikit taktis, dan politis, namun tetap tajam tanpa ewuh pakewuh.

Yang penulis tanggapi saat ini adalah objek narasi Eggi dalam Mutiara Jumat, 21 Februari 2025, yang berisi kritik dan protes keras terhadap konsep atau cakrawala berpikir Presiden RI ke-8, Prabowo Subianto (PS). Dalam tulisannya, Eggi mengaitkan hal tersebut dengan QS. Al-Baqarah 2:165, yang terjemahannya adalah:

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tuhan selain Allah sebagai tandingan yang mereka cintai seperti mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah. Sekiranya orang-orang yang berbuat zalim itu melihat, ketika mereka melihat azab (pada hari Kiamat), bahwa kekuatan itu semuanya milik Allah dan bahwa Allah sangat berat azab-Nya (niscaya mereka akan menyesal)."

Menurut Eggi, wahyu Allah tersebut secara jelas menunjukkan beberapa elemen penting:

Ada orang yang menyembah Tuhan lain selain Allah, menjadikan makhluk sebagai tandingan Allah.
Ada orang-orang yang mencintai sesuatu secara berlebihan (overdosis), hampir sama dengan cinta mereka kepada Tuhan.
Jika mereka tahu dan sadar akan adanya azab Allah bagi mereka yang beriman selain kepada Allah (musyrik), maka kelak mereka pasti menyesal.
Berdasarkan tiga poin tersebut, Eggi mengajak bangsa ini untuk mengevaluasi diri, termasuk Presiden RI sebagai pemimpin negara.

Secara umum, pola evaluasi atau introspeksi diri menurut Eggi adalah dengan menelaah kembali apa yang pernah diperbuat—baik kesalahan, penyimpangan, atau tindakan yang tidak bersandar pada Kitabullah—dan kemudian memperbaiki serta meluruskannya.

Namun, khusus untuk Presiden RI Prabowo Subianto, evaluasi tersebut berkaitan dengan ungkapan sanjungannya yang berlebihan (over) kepada mantan Presiden RI ke-7, Joko Widodo (Jokowi), yang sengaja dipublikasikan. Eggi mengajak umat untuk menganalisis dan mengevaluasi bersama perilaku tersebut.

Evaluasi yang dilakukan Eggi mengacu pada perilaku nyata dari PS dan Jokowi, terutama saat Prabowo mengucapkan, "Hidup Jokowi!" dalam Harlah ke-17 Partai Gerindra di Sentul pada 15 Februari 2025. Ucapan ini disampaikan di hadapan ribuan pendukungnya, diiringi dengan yel-yel "Terima Kasih Jokowi!" yang menggema di seluruh gedung dengan tepuk tangan meriah.

Menurut Eggi, ada tiga persoalan mendasar dalam hal ini:

1. Prabowo Subianto telah menyatakan pujian dan pujaan kepada Jokowi dengan hawa nafsunya, yang membuatnya terjerumus dalam kemusyrikan (QS. Al-Jatsiyah 45:23, QS. Al-Hajj 22:52, dan QS. Thaha 20:120-121). Eggi menggambarkan bahwa Allah telah menampakkan "aurat" PS, Jokowi, dan Gibran kepada publik, sehingga banyak masyarakat yang tidak berkenan—tanda bahwa kedaulatan rakyat mulai terganggu.

2. Jokowi ditempatkan di posisi tertinggi oleh Prabowo, bahkan tampak lebih dicintai dibandingkan Allah. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Prabowo bahwa ia bisa menang sebagai Presiden RI karena Jokowi.

Eggi menolak perilaku Prabowo ini dengan merujuk pada QS. Ali ‘Imran 3:26-27, yang menegaskan bahwa segala kekuasaan dan kemuliaan ada di tangan Allah, bukan manusia.

Eggi juga menilai bahwa:

1. Prabowo telah melecehkan dan menandingi Allah serta melecehkan rakyat Indonesia dan konstitusi UUD 1945.

2. Prabowo telah melecehkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang sebelumnya menyatakan bahwa kemenangan PS tidak ada campur tangan (cawe-cawe) Jokowi dan tidak ada nepotisme.

3. Publik beranggapan bahwa pernyataan Prabowo bertentangan dengan putusan MK, sehingga memunculkan dugaan bahwa kemenangan PS dipengaruhi oleh program bantuan sosial (bansos) yang mencapai Rp500 triliun.

4. Lebih lanjut, Eggi menguraikan bahwa keterbukaan yang terjadi saat ini merupakan cara Allah membongkar "tipu-tipu" Jokowi, Prabowo, Gibran, serta para politisi busuk. Dari perspektif hukum, moralitas, dan ketuhanan, MK harus bertanggung jawab dunia-akhirat atas kebohongan dan sandiwaranya. Eggi mempertanyakan bagaimana mungkin MK tidak mengakui adanya cawe-cawe Jokowi.

Eggi menegaskan bahwa dusta MK ini harus menjadi tuntutan hukum tersendiri karena berkaitan erat dengan tiga fungsi utama hukum, yaitu:

1. Kepastian hukum
2. Kemanfaatan hukum
3. Rasa keadilan

Jika ketiga tujuan hukum tersebut tidak tercapai, maka konsekuensi logisnya adalah produk putusan MK yang menetapkan PS-Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI menjadi batal demi hukum. Ini termasuk putusan MK terkait batas usia Gibran yang saat 2024 belum mencapai 40 tahun (baru 36 tahun) serta dugaan ijazah palsu Gibran, yang melanggar UU Pemilu No. 7 Tahun 2017 Pasal 169. Jika konsekuensi hukum ini diabaikan, maka keberlangsungan negara akan berjalan tanpa moralitas Pancasila, khususnya sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan sila kedua (Kemanusiaan yang Adil dan Beradab).

Di penutup, Eggi menantang pihak yang tidak sependapat dengannya untuk membantah dengan argumentasi, bukan dengan otot, melainkan dengan otak.

Menurut penulis, narasi Prof. Dr. Eggi Sudjana, S.H., M.Si., dalam artikel ini menunjukkan bahwa Eggi adalah seorang intelektual yang berkualitas (qualified), selain juga seorang ulama yang berani menyatakan bahwa yang hak adalah hak, yang batil adalah batil.

Eggi, yang dikenal sebagai sosok pemberani, konsisten, dan konsekuen terhadap ilmu yang ia miliki, tidak hanya berorasi, tetapi juga aktif dalam praktik hukum nyata melalui litigasi. Ia pernah mengajukan gugatan perdata terhadap Jokowi, melaporkan dugaan ijazah palsu, serta menggugat berbagai kebijakan. Meskipun berkali-kali merasakan pedihnya jeruji besi, Eggi tetap lantang menyuarakan kritik terhadap penyimpangan konstitusi dan moralitas para pejabat publik.