Bicaramu: Komunikasi Berujung Pencopotan Jabatan, Nasi sudah Terlanjur Menjadi Bubur

Drs Wahyudi El Panggabean MH dan sekaligus sebagai Direktur utama Pekanbaru Jurnalistik Center (PJC). (Poto/ist).

By: Wahyudi El Panggabean

Satuju.com - Kita selalu meremehkan kekuatan: sentuhan, senyuman, kata yang ramah, telinga yang mau mendengar, pujian yang jujur, tindakan kecil tentang kepedulian. Semuanya, memiliki potensi mengubah kehidupan sekitar―(Leo Buscaglia, Pembicara dari Amerika Serikat).

SUATU senja, saya menerima telepon dari sepupu. Wanita ini, ingin mengajak saya ngobrol sembari menyeruput kopi, di salah satu kafe di sudut kota.

Di kafe, dia didampingi seorang pria umur 50-an. Si Pria ini, seorang Aparat Sipil Negara (ASN), bagian Teknis Pembangunan Jalan. Yah, semacam Pimpinan Proyek (Pimpro)-lah. Dia baru beberapa hari dicopot dari jatannya. 

Dari jabatan teknis yang "basah" dipindahkan ke bagia staf yang "kering". Tentu saja, pria ini, merasa kecewa. Kecewa berat.

"Semoga abang bisa memberi solusi, membantu agar dia dikembalikan ke posisi semula," sepupu saya bermohon kepada saya, seraya menyeruput kopinya.

Tentu saja, saya ingin tahu, penyebab dan kronologi peristiwa yang memilukan itu. Pastilah, ada percakapan lebih dulu sebelum lahirnya keputusan.

Saya meminta dia memberi penjelasan. Pria ini, kemudian menceritakan detail percakapan dengan "atasannya" dua hari sebelum pencopotannya.

Menurutnya, suatu hari Bos-nya memanggilnya ke ruangan Bos-nya untuk membicarakan masalah pekerjaan. Selama ini, hubungan komunikasi mereka, tergolong harmonis.

Obrolan mereka pun, berlangsung akrab dan diwarnai tawa dan canda. Hingga akhirnya si Bos, meminta  agar pria ini bersedia menaikkan dana "setoran" proyek. 

"Tampaknya, tidak ada jalan lain, Pak. Gimana kalau kita sepakati untuk menaikkan setoran proyek. Sebab ini perintah 'Bos Besar' kita," harap si Bos seraya tertawa kecil.

Tampaknya, di sini klimaks pembicaraan mereka mulai terdistorsi. Pria ini, tidak mengapresiasi permohonan Bos-nya. Justru, menanggapi dengan ketus permintaan atasannya itu

Mungkin, merasa terkejut dengan permintaan itu, pria ini langsung menjawab ketus: 

"Setoran dengan jumlah yang sekarang saja, sudah sulit saya penuhi. Malah, mau ditambah pula? Jika setoran ditambah lagi, berarti mutu proyek diturunkan. Apakah kita mau masuk penjara?!" katanya kepada Bos-nya itu.

"Itulah percakapan kami yang terakhir. Dua hari setelah itu, saya menerima surat mutasi. Padahal, kami bicara, baik-baik kok. Percakapan kami juga akrab. Kok tiba-tiba saya dicopot?" tanyanya, heran.

Kita, tentu saja, tidak ingin menduga-duga, perihal penyebab, pencopotan  si Pria ini dari jabatannya. Kita hanya mencoba menganalisanya saja, kemungkinan-kemungkinan yang jadi sumber masalah.

Kemungkinan, dalam kata-kata ketus itulah yang jadi "patahan" komunikasi yang berujung pada pencopotan jabatan itu. Si Bos tampaknya, merasa tidak diapresiasi oleh Pria ini. 

Padahal, jika dia merespon dengan baik, dengan kata-kata yang lebih lembut, bisa jadi Bos-nya, masih melanjutkan obrolan, yang mungkin saja berupaya mencari alternatif lain. 

Alangkah elegannya, jika si pria ini merespon dengan santun misalnya dengan mengatakan seperti ungkapan berikut: 

"Oh iya? Kalau sidah perintah Bos Besar kita, tampaknya harus diupayakan itu, Pak. Tapi gimana kira-kira solusinya ya Pak? Agar kita tidak kena dalam mutu proyek. Kurasa Bapak bisa berikan solusi.."

Sayangnya, Pria ini, keburu: ketus.

Setelah peristiwa pencopotan itu, si Pria ini, "berjuang" secara terus menerus agar dia bisa dikembalikan ke posisinya, semula. Termasuk saya yang ikut memperjuangkan.

Tetapi, rasanya, nasi sudah terlanjur menjadi bubur. Sekeras itu dia berjuang, sekeras itu pula si Bos-nya itu, bertahan "mematahkan" perjuangannya. 

Sebab, akhirnya, mesti diakui. Di sini, bukan masalah pencopotan jabatan lagi yang dipersoalkan. Justru ego dan harga diri masing-masing di antara mereka.