"Jika KITA ANAK REMPANG"
Rempang: Tanah Leluhur yang Terusir oleh Sebuah Kertas
Background peta Rempang dan Darma Hari Lubis. (Poto/istimewa/).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Sejak tahun 1800-an, kami telah tinggal di Rempang. Pada masa itu, Negara Indonesia belum terbentuk. Namun kini, setelah para raja menyatakan persetujuan, mereka dianggap tidak memiliki surat resmi yang seharusnya diberikan oleh pemerintah yang berwenang. Surat tersebut tidak pernah diminta oleh penduduk yang telah turun-temurun mendiami tanah bekas wilayah kerajaan mereka.
Karena tidak memiliki dokumen resmi berupa sertifikat tanah, masyarakat kemudian menyatakan tidak memiliki bukti kepemilikan yang sah. Akibatnya, keturunan para penguasa Melayu atau eks-warga Kerajaan Rempang dari tahun 1800-an—sebuah masa ketika Amerika masih berada di era koboi—harus angkat kaki dari tanah leluhur mereka.
Maka, untuk apa menyatakan kepatuhan dan bersumpah setia dalam Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928, jika pada akhirnya negara-negara yang ingin bersatu dalam wadah negara kesatuan yang berlandaskan sistem presidensial hanya menggantikan penjajah seperti Portugis, Belanda, dan Jepang? Bukankah lebih baik menuruti raja bangsa sendiri?
Apakah hanya karena selembar kertas asli menjadi permasalahan utama? Namun nyatanya, bahkan kertas yang “belum jelas keasliannya” telah digunakan oleh Presiden Jokowi untuk memimpin NKRI.
Yaa.. Kreativitas itu dilempar ke Riau dan Rempang agar berani melawan!
Sudah para raja kita mengalah dan tunduk kepada Republik Indonesia, mengapa kini kita malah diusir oleh kepentingan asing yang jahat?
Mereka harus berjihad, mati dalam mempertahankan hak harta benda juga syahid.
Lawan china jahat!
Jadi harta pun bisa dipertahankan (oleh anak dan keturunan paling tidak) meskipun kita mati.
Pada tanggal 29 Maret 2025, Menteri Transmigrasi, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota mengunjungi Sembulang, Rempang. Dalam pertemuan tersebut, warga menyampaikan tuntutan dan aspirasi mereka.
"Kami tidak terima! Berikan kami kejelasan terlebih dahulu, Pak. Kampung kami harus tetap bebas dan tidak boleh diganggu lagi."
Masyarakat Rempang meminta agar kampung mereka disertifikasi karena mereka memiliki bukti yang kuat dan banyak. Mereka menunjukkan sertifikat tanah, bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), serta tugu batas kampung tua sebagai bukti keberadaan mereka. Semua bukti ini mereka perlihatkan kepada Menteri Transmigrasi, Wali Kota, dan Wakil Wali Kota yang hadir.
Warga meminta agar kampung mereka dilegalkan. Mereka menegaskan bahwa pernyataan pejabat yang datang seolah-olah memberikan pilihan untuk pindah atau tetap tinggal justru semakin memperjelas status mereka. Oleh karena itu, mereka menuntut agar diberikan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas tanah mereka.
"Kami minta maaf jika cara kami terdengar kasar, tetapi kami selalu dibuat trauma," ujar salah satu warga.
Pejabat pemerintah yang hadir berjanji akan mencari solusi atas permasalahan ini. Kehadiran Menteri yang memberikan perhatian khusus terhadap kasus Rempang diharapkan dapat membawa jalan keluar yang adil bagi masyarakat.

