AJI Kritik Syarat Surat Kepolisian bagi Jurnalis Asing: Ada yang Tidak Beres
Ketua AJI Indonesia Nani Afrida. (Poto/net).
Jakarta, Satuju.com - Ketentuan soal syarat jurnalis asing yang bertugas harus memiliki surat keterangan dari kepolisian yang dikirimkan kepada Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Indonesia. Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing.
Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 5 ayat (1) butir b Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Fungsional Kepolisian Terhadap Orang Asing.
Ketua AJI Indonesia Nani Afrida mengatakan aturan tersebut jelas mengancam kebebasan pers dan peneliti asing. Apalagi, Perpol tersebut dibuat dengan tidak merujuk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Dalam meliput jurnalis tidak ada batasan,” kata Nani kepada Tempo, Rabu, 2 April 2025.
Dia menegaskan, hingga saat ini tidak ada ketentuan yang mewajibkan jurnalis untuk meliput di lokasi-lokasi yang ditentukan. Jurnalis, memiliki hak untuk memuatnya di mana pun selagi mengikuti ketentuannya.
Nani melanjutkan, ketentuan itu diatur melalui visa jurnalis sesuai negara yang dituju. Namun, tidak ada ketentuan yang menyebutkan batasan jangkauan area liputan bagi jurnalis.
Ia khawatir ketentuan itu akan menyebabkan pandangan jurnalis asing terhadap Indonesia semakin memburuk. “Bisa muncul asumsi ada yang tidak beres, dan Indonesia berusaha menutupinya dengan ketentuan ini,” ujar Nani.
Adapun Pasal 5 ayat (1) butir b Perpol 3 Tahun 2025 menyebutkan bahwa kepolisian dapat melakukan pengawasan administratif, yaitu dengan menerbitkan surat keterangan kepolisian terhadap orang asing yang melakukan kegiatan jurnalistik dan penelitian di lokasi tertentu.
Dihubungi secara terpisah, Direktur LBH Pers Mustafa Layong menjelaskan, tugas pengawasan terhadap orang asing merupakan tugas yang seharusnya diemban oleh imigrasi. Apalagi, ia melanjutkan, sebagai negara demokrasi dan masyarakat dunia, Indonesia harus menerapkan prinsip HAM universal.
HAM universal yang dimaksud Mustafa, termasuk menjaga dan menjunjung tinggi kemerdekaan pers kepada setiap insan, termasuk mereka jurnalis asing. Ia curiga aturan ini dibuat untuk membatasi ruang dan gerak jurnalistik. “Ini merupakan bentuk penyalahgunaan tugas dan fungsi kepolisian,” kata Mustafa.
Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho dan Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko belum menjawab pesan konfirmasi Tempo ihwal Perpol ini.
Hingga artikel ini dipublikasikan, pesan yang dikirim melalui aplikasi perpesanan WhatsApp itu hanya menunjukkan notifikasi dua centang abu alias terkirim saja.

