Guru Besar Hukum Pidana Prof Markus dan Fenomena "Black Lawyer" di Dunia Akademik

Guru Besar Hukum Pidana Prof Markus

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Amat mengerikan, masyarakat saat ini terhadap lembaga kampus PTN. UGM sementara "menyebutnya sebagai sarang sindikat ijazah palsu", karena beberapa para petinggi UGM seperti sosok yang memulai 'mafia ijazah', terbukti banyak civitas akademika, setidaknya telah melakukan pembiaran (disobidient) terhadap "kejahatan Jokowi", dan sedikit diantaranya diam ketakutan, hal yang membandingkan dengan sejarah ilmu pengetahuan dari sisi perspektif positivisme juga sebaliknya dari sudut pandang negativisme. 

Sebab lainnya, terkait julukan Mafia Ijazah (sindikat ijazah palsu) banyak petinggi UGM terlibat turut serta (partisipasi) terkait delik objek Ijazah Palsu Jokowi, mulai rektor, dekan bahkan Gubes hukum pidana UGM, Prof Dr. Markus Priyo Gunarto, SH, MHum (Tidak liner dengan jurusan hukum pidana ?). 

Dari perspektif penulis yang berprofesi pengacara, nampaknya Markus telah menyimpang dari profesi jabatan (jabatan terhormat dimata publik) dan dus tentunya minus secara akademis dan dari sisi ilmiah keilmuan. 

Apa penyebab pendapat penulis minus terkait argumentasi Markus, karena argumentasinya mirip praktik pengacara dan nyata disfungsi atau kontradiktif fungsional dan tumpang tindih struktural jabatan Markus di UGM (ASN), bahkan Markus mendekati kepribadian yang nyaris identik dengan sosok 'pengacara hitam', karena dengan pernyataannya sengaja mengarahkan, oleh Markus dibuat samar (obscur) seolah-olah Jokowi yang analisis secara ilmiah dari para ahli IT. melalui diagnostik (forensik digitalisasi) oleh alumni asli UGM. Dr. Roy Suryo dan bahkan Dr. Eng Rismon H Sianipar telah memastikan berdasarkan keyakinan disiplin ilmu dan keahliannya (ilmiah) kepada publik bahwa '100 miliar prosen ijazah Jokowi palsu'. Namun Markus memberikan (advis hukum) dengan menyamarkan untuk meyakinkan publik bahwa hasil analisa ilmiah (Roy dan Rismon) tidak tepat dari sisi hukum.

Bahwa advis Markus secara 'eksplisit dan implisit, subtansial, dapat dikaitkan, sebagai keterangan yang menyatakan, bahwa 'Ijazah Jokowi ada yang asli namun hilang atau rusak, lalu Jokowi menggunakan Ijazah yang Ia palsu kan, mencontoh (replikasi) dari 'Ijazah asli' produk UGM karena Jokowi tercatat merupakan alumni asli UGM?'.

Pernyataan Markus ini tentu (kesimpulan) yang amat menyebarkan masyarakat hukum dan masyarakat umum, diksi yang amat nir ilmiah dan diuji kelak.

Advis atau argumentasi hukum Markus ber nilai rendah, pola berdebat ala warung kopi (debat kusir), dan termasuk kepada literasi serta upaya litigasi oleh masyarakat yang disampaikan oleh Kelompok TPUA/Tim Pembela Ulama dan Aktivis.

Tentu, publik termasuk penulis menyayangkan UGM (milik publik) dan Markus dirasakan amat sangat tidak bijak dalam menanggapi problematika besar kepemimpinan bangsa (historis moralitas kepemimpinan), karena respon Markus justru tidak profesional dan tidak proporsionalitas, oleh sebab kenapa sebagai sosok civitas akademic (akademikus) tidak merekomendasikan kepada para Pakar IT UGM agar menjawab adanya sounding 'sinisme' melalui pola adu data analisa diagnostik terhadap hasil analisa Dr. Roy dan Dr Eng HRS?

Selain dan selebihnya, Markus mengetahui sudah ada booming berita, bahwa tuduhan publik terhadap dugaan ijazah palsu S. 1 Jokowi, telah melalui proses upaya hukum litigasi (perdata dan pidana) via pengadilan negeri dan Mabes Polri,  yang dilakukan oleh kelompok TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) dengan Ketua Umumnya Eggi Sudjana, (Prof Dr. SH., MSI) sebagai notoir feiten (non malus/ niet slecht) yang bisa menjadi alat bukti sepengetahuan umum jika dikaitkan dengan figuritas diri Dr Eggi sebagai pejuang aktivis senioren muslim di tanah air, belum lagi tak henti 24 jam sepanjang tahun tertempel informasi dari peselancar di media sosial Jokowi Ijazah palsu, termasuk subtansial tantangan hukum yang dilayangkan oleh intelektualis Roy Suryo dan Rismon Sianipar yang tegas minta dan mengajak diskusi serta pembuktian metode ilmiah dan jalur hukum.

Lalu, bukan kah tantangan interaksi pure hukum ini bisa dijawab oleh UGM (peluang pembuktian hukum ideal terbaik), melalui permohonan Markus dan dikuatkan oleh Jokowi bahkan acc. Gibran yang Wapres kepada Mabes Polri (Cq. Kapolri Sigit), agar laporan TPUA di Mabes Polri segera ditindak lanjuti?     

Dan terkait data empirik yang digunakan oleh TPUA dalam kerangka hukum (proses litigasi) tidak apriori semata, karena disertai seperangkat wujud kelengkapan data dalam bentuk surat putusan yang memuat fakta hukum Jo. Putusan Badan Peradilan PN. Surakarta (merangkum segala materi persidangan) termasuk hari ini (7 April 2025) TPUA memberikan Tambahan Bukti untuk Kedua,  diantaranya bukti dari para pakar IT, yang fokus pada a quo in casu.

Selanjutnya catatan hukumnya; berkebetulan 100 persen konseptor litigasi gugatan dan juga naskah perihal laporan/pengaduan atas dugaan terhadap Jokowi Ijasah Palsu S.1 dsri Fakultas Kehutanan UGM. ke Mabes Polri adalah oleh penulis, selebihnya TPUA berupaya mengungkap kebohongan Jokowi ini, melalui upaya non litigasi, melalui narasi literasi hukum via media dan youtube dan lain-lain media (konvensional dan digital) 

Sehingga opini Markus dari sisi pandang perspektif, maka konklusi logika hukum, bahwa nalar advokasi Markus mendapat penilaian oleh kaum advokat original memiliki nilai sebagai "advokat kagetan atau oplosan", serius bakale jadi bumerang baginya kelak secara pribadi.

Oleh Karenanya, demi hukum, kelak bakal dipertanyakan oleh penulis (Koordinator TPUA) apakah;

1. UGM/ Markus punya arsip asli Jokowi lainnya selain Ijasah asli 'yang hilang,'. Maka arsip tersebut memerlukan uji karbon (usia font);

2. Sedangkan Jokowi sebagai pribadi yang bersangkutan tidak pernah menyatakan ijazahnya pernah hilang kepada publik Jo. UU.KIP dan Jo. eksistensi berita, warta publik;

3. Jika benar-benar hilang, maka secara (hukum) administrasi tentu sekelas UGM punya data laporan kehilangan dan atau arsip berita acara sekretariatan kampus/ Dekanat atau Rektorat dengan lampiran laporan polisi kehilangan Ijazah, maka bukti arsip/dokumen itu pun memerlukan investigasi verbal dan uji forensik digital dan uji karbon;

4. Faktor Penting, andai Jokowi benar-benar kehilangan Ijazah, mengapa dirinya memasukan foto dan lainnya (kelak akan Penulis buktikan dan bertanya),_ tentu argumentasi warung kopi akan dipersembahkan kembali kepada publik oleh Markus sang Guru Besar Hukum Pidana (MHum?).

Pertanyaan kiasan dari penulis sebagai aktivis, karena Jokowi ditandai publik 'kebal hukum', maka apakah Markus dan Tokoh UGM lainnya memahami asas hukum Mala In Se, atau kah ini masanya para "begundal" intelektual dibekali hak imunitas?