Utang, Krisis Global dan Harapan yang Mengecil

Ilustrasi

Penulis: Dahlan Iskan

Satuju.com - WAINI ada pertanyaan penting: benarkah punya utang besar itu tidak masalah.

Alasan yang sering dipakai oleh para pembela utang, Anda sudah tahu: asal dipakai untuk belanja proyek produktif dan masih dalam rasio aman terhadap PDB –30 persen.

Kemarin-kemarin pertanyaan itu memang tidak penting. Yang memasukkan besarnya utang dinilai kalah rasional. Penakut. Nyinyir. Kalau mau maju harus berani.

Kini mempersoalkan besarnya utang itu menjadi penting. Tiba-tiba saja penting. Dalam keadaan normal, punya utang besar memang tidak berbahaya. Tapi dalam keadaan tidak normal seperti sekarang?

Dulunya keadaan ''tidak normal'' dianggap tidak akan pernah datang. Segala perhitungan disesuaikan dengan proyeksi keadaan normal. Seperti orang muda yang sehat. Tidak pernah membayangkan tiba-tiba terkena kanker.

Dan keadaan ''tidak normal'' kini tiba-tiba datang. "Dunia sudah tidak akan sama lagi". Begitu ujar banyak pemimpin negara di luar Amerika Serikat. Pun ujaran pimpinan negara yang paling kecil dikenakan tarif impor oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump: Singapura.

Anda sudah tahu: Trump hanya mengenakan bea masuk barang dari Singapura 10 persen. Padahal negara-negara ASEAN lain mengenakan antara 32-46 persen.

Vietnam yang mencoba berdiri di tengah antara Amerika dan Tiongkok, di luar dugaan, mengenakan tarif paling tinggi di ASEAN: 46 persen. Jauh melebihi Indonesia yang 32 persen. Padahal Indonesia dikenal sangat mesra dengan Tiongkok.

Mengapa Singapura juga mengeluhkan sikap Trump?

Jawabnya Anda sudah tahu: Singapura hidup dari perdagangan. Negara yang penduduknya sama dengan satu kota Surabaya tidak memiliki sumber daya alam. Singapura merasa hidupnya lebih baik dalam sistem perdagangan bebas.

Singapura akan kesulitan jika semua negara melakukan tit for tat terhadap Amerika. Semua negara menjadi hanya memikirkan diri masing-masing. Perlindungan menjadi normal baru. Akibatnya, lembaga-lembaga internasional menjadi kian kurang berfungsi.

Singapura, kata perdana menterinya, Lawrence Wong kemarin: juga menginginkan reformasi di lembaga-lembaga internasional. Termasuk di lembaga perdagangan internasional, WTO. “Yang dilakukan Trump sekarang ini bukan reformasi, tapi meninggalkannya,” ujar Wong.

NATO hampir lumpuh. SIAPA yang bisa lumpuh. WTO pasti terhenti. Mungkin juga PBB. Dunia sudah tidak akan sama lagi. Pertumbuhan ekonomi global akan menurun.

Padahal diakui dunia bahwa jasa terbesar dari perdagangan bebas adalah: berkurangnya kemiskinan besar-besaran di dunia. Telah terjadi pemerataan kemakmuran.

Semua itu kini berakhir. Dunia harus menghadapi kenyataan baru.

Di masa lalu proteksionisme seperti itu diikuti dengan gerakan masing-masing negara mempersenjatai diri. Lalu meletuslah perang dunia kedua.

Indonesia tentu akan ikut terkena imbasnya. Saya sendiri mulai mempersiapkan mental untuk keadaan yang lebih sulit. Saya juga mulai menata pikiran: jangan marah kalau pertumbuhan ekonomi tidak bisa mencapai 8 persen.

Tanpa ''normal baru'' pun saya sudah siap bila negara tidak bisa tumbuh 8 persen. Apalagi kini dunia menghadapi ''normal baru''.

"Keadaan yang disebabkan oleh kebijakan Donald Trump itu sangat kejam. Tapi itu sebuah kenyataan baru," ujar PM Kanada Mark Carney.

Kita tidak menyangka bahwa Singapura ternyata juga sedih. Padahal negara itu kaya raya. Cadangan devisanya lima kali lipat lebih besar dari kita: USD 520 miliar. Cadangan devisa itu tidak pernah dipakai. Terus bertambah. Padahal Singapura tidak punya utang. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk, cadangan devisa Singapura bernilai lebih dari 1.000 kali Indonesia.

Sedang kita, perangkat cadangan bisa turun naik. Utang kita Anda sudah ikut hafal jumlah.

Utang kita yang besar itu otomatis membesar sendiri akibat perubahan kurs. Di saat tidak normal seperti sekarang, utang itu menjadi beban sangat berat.

Dalam keadaan sulit seperti sekarang harusnya para pembela ''utang mati angin''. Tapi yang tertidur tidak perlu sedih. Bukan Anda yang harus membayar.