Represi Meningkat: Cerita Jurnalis Internasional Meliput di Indonesia

Kecaman represi terhadap jurnalis. (Poto/net).

Jakarta, Satuju.com - Perpol 3/2025 yang dinilai berpotensi membatasi kebebasan pers dikecam aktivisme demokrasi dan LSM kebebasan pers. Aturan ini disebut memberi wewenang lebih luas kepada polisi untuk memantau jurnalis dan peneliti asing.

Peraturan Kepolisian Nomor 3 Tahun 2025 tentang Pengawasan Terhadap Orang Asing mulai berlaku sejak 10 Maret silam, namun baru diterbitkan secara berani belakangan.

Menurut laporan sejumlah media, salah satu pasal di dalam Perpol 3/2025 mewajibkan adanya surat izin polisi untuk bekerja di "lokasi tertentu".

Pejabat Polri menyatakan bahwa aturan itu diperlukan demi menjaga kedaulatan negara dan perlindungan warga negara asing. Kemudian mereka menyatakan tidak ada kewajiban bagi jurnalis asing untuk membuat surat keterangan dari kepolisian (SKK).

“Jika tidak ada permintaan dari penjamin, SKK tidak bisa diterbitkan. SKK tidak bersifat wajib bagi jurnalis asing,” ujar Kapolri Sigit Listyo Widodo pekan lalu.

Dia menjelaskan peraturan tersebut dimaksudkan sebagai bentuk pelayanan.

“Memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap WNA seperti para jurnalis asing yang sedang bertugas di seluruh Indonesia, misalkan di wilayah rawan konflik,” ujarnya.

BBC News Indonesia telah berupaya menghubungi pihak kepolisian untuk meminta tanggapan lebih lanjut, namun hingga berita ini diterbitkan belum mendapat tanggapan.

Kebebasan pers di Indonesia telah menjadi sorotan dalam beberapa pekan terakhir.

Bulan lalu, majalah Tempo—media lokal yang dikenal karena liputan kritisnya terhadap kebijakan Presiden Prabowo Subianto—menerima kiriman kepala babi dan bangkai tikus yang dipenggal.

Indonesia juga memiliki catatan sejarah mendeportasi jurnalis asing yang dianggap melampaui batas pelaporan tertentu.

BBC News Indonesia telah menghubungi sejumlah jurnalis asing baik yang saat ini masih bekerja di Indonesia ataus sudah pindah ke negara lain.

Tidak ada dari mereka yang bersedia berbicara secara terbuka. Mereka mengaku khawatir akan keamanan dan keselamatan mereka, mengingat status mereka sebagai warga negara asing, serta sensitivitas masalah ini.

Seorang jurnalis yang pernah bertugas di Indonesia selama bertahun-tahun—yang meminta identitasnya tidak diungkap—mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang sangat sulit bagi warga negara asing untuk mendapatkan visa kerja jurnalistik.

"Kalau Anda tidak bekerja untuk salah satu media berita global raksasa, pada dasarnya Anda tidak memiliki peluang, dan bahkan jika Anda bekerja di media besar, Anda masih bisa mengalami kesulitan. Ini adalah situasi yang sangat berbeda dari negara-negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan bahkan Kamboja," ujar jurnalis tersebut, yang memilih anonim dengan alasan keamanan.

"Indonesia seharusnya mempermudah jurnalis untuk melakukan pekerjaan mereka, bukan mempersulitnya."

Wartawan tersebut juga mempertanyakan aturan yang menyatakan bahwa jurnalis asing yang melakukan kunjungan liputan harus didampingi oleh perantara lokal atau disebut fixer.

Dia mengeklaim fixer ini harus berasal dari perusahaan yang telah disetujui pemerintah.

Menurut dia, aturan ini secara signifikan meningkatkan biaya kerja jurnalistik di Indonesia sehingga mempersulit proses peliputan.

"Bayangkan misalnya jika Anda harus membayar salah satu dari orang-orang ini US$150 [Rp2,5 juta] per hari," katanya.

Salah satu wartawan asing lainnya—yang juga menolak diungkap identitasnya—menyebut Indonesia setelah era Reformasi sempat menjadi salah satu negara dengan kebebasan pers tertinggi.

"Tapi sekarang sudah semakin sulit. Belum separah di Myanmar, memang, tapi saya khawatir arahnya akan ke sana," ujarnya.

Wartawan yang bergiat di isu lingkungan, Sapariah Saturi, mengatakan banyak koleganya yang mengeluhkan sulitnya proses perizinan dan visa wartawan asing di Indonesia.

"Mereka cerita: 'Kok, semakin susah, ya, masuk ke Indonesia?' Ada yang sudah berulang kali mengajukan tapi tetap ditolak," ujar Sapariah yang sempat mendampingi wartawan Mongabay, Philip Jacobson, yang dideportasi pada 2020.

Menurut Sapariah, sebagian wartawan asing memilih untuk berbasis di negara tetangga seperti Singapura atau Thailand dan meliput Indonesia dari sana.

Dia khawatir, peraturan baru kepolisian akan semakin mempersulit kerja jurnalis asing dan membatasi kebebasan pers di Indonesia.

Sebelum adanya Perpol 3/2025, wartawan asing harus mendapatkan persetujuan dari 18 kementerian dan lembaga atau yang dikenal sebagai clearing house untuk melakukan peliputan di Indonesia.

Hal ini diutarakan peneliti Human Rights Watch, Andreas Harsono, yang menulis laporan bertajuk Something To Hide.

Aturan clearing house disebut dalam Peraturan Menkominfo 42/2009 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

"Clearing house ini terletak di Kementerian Luar Negeri. Anggotanya termasuk BIN [Badan Intelijen Negara], BAIS [Badan Intelijen Strategis], Kementerian Dalam Negeri, Polri, dan lain-lain," ujar Andreas, Jumat (04/04).

Menurut Andreas, wartawan asing yang memperoleh persetujuan dari clearing house dapat bekerja di seluruh Indonesia "kecuali Papua".

Adapun peneliti-peneliti asing harus memperoleh persetujuan dari clearing house yang juga beranggotakan 18 kementerian dan lembaga.

Bedanya, clearing house untuk peneliti asing berpusat di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) alih-alih Kemenlu.

"Sebetulnya ada satu lagi: para pembuat film asing. Untuk yang ini, pusat clearing house-nya di Kementerian Kebudayaan," jelas Andreas.

Andreas menjelaskan bahwa pada pemerintahan Jokowi, para pembuat film asing—termasuk dokumenter—juga diharuskan menggunakan fixer atau perantara milik orang Indonesia.

Lalu apa perbedaannya sekarang dengan kehadiran Perpol 3/2025 ini?

Andreas menjelaskan aturan yang ditandatangani Kapolri itu membuat kebijakan terkait jurnalis dan peneliti asing tadi menjadi "didesentralisasi' ke daerah-daerah.

"Peraturan ini membuat setiap polisi bisa menangkap atau memeriksa wartawan asing di wilayah dia. Sebelumnya, yang bisa menangkap adalah petugas imigrasi," ujarnya.

"Jadi, sekarang lebih represif lagi."

"Sekarang, tanpa peraturan Kapolri pun, Indonesia itu sudah sangat sulit [bagi wartawan asing]. Lebih sulit dari zaman Orde Baru," ujar Andreas.

BBC News Indonesia menghubungi juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, untuk mengonfirmasi hal ini.

Menurut Rolliansyah, "visa kunjungan jurnalistik dilakukan secara online melalui Imigrasi, tidak ada pembahasan antar kementerian dan lembaga untuk persetujuannya".

"Yang diperlukan dalam pengajuan visa adalah surat undangan dari instansi di Indonesia atau surat keterangan dari perwakilan RI terdekat," ujarnya ketika dihubungi, Senin (07/04).

Ketika BBC News Indonesia meminta penjelasan lebih lanjut mengenai clearing house, Rolliansyah mengatakan itu hanya istilah untuk mempermudah dan "yang penting itu fungsinya".

"Karena lewat mekanisme ini juga utamanya terkait dengan isu pemberian visa secara umum bagi orang-orang yang berasal dari sejumlah negara tertentu yang berdasarkan ketentuan keimigrasian masih membutuhkan ijin visa khusus (tidak bisa pengajuan visa biasa atau tidak bisa lewat visa on arrival)," ujarnya.

"Jadi pengaturannya terkait dengan isu yang ditangani oleh kementerian dan lembaga di luar Kementerian Luar Negeri."

Untuk melakukan pekerjaan di Indonesia, jurnalis asing harus mengajukan visa kunjungan jurnalistik ke kedutaan besar atau konsulat umum terdekat di lokasinya.

Hal ini dipaparkan dua orang fixer atau pendamping lokal di Indonesia dalam wawancara dengan BBC News Indonesia.

Menurut mereka, para jurnalis asing juga harus melengkapi berkas permohonan itu dengan semacam "sinopsis liputan", daftar narasumber yang akan diwawancara, lokasi liputan, jadwal perjalanan, dan penjamin atau fixer tadi.

Berkas permohonan akan ditinjau oleh Tim Koordinasi Kunjungan Orang Asing (TK KORA).

“Jadi sebetulnya TK KORA dan clearing house itu orang yang sama,” ujar Bambang—bukan nama sebenarnya.

BBC News Indonesia tidak mengungkap identitas asli fixer tersebut dengan alasan keamanan.

TK KORA terdiri dari berbagai institusi negara termasuk intelijen, tentara, polisi, dan lain-lain.

"Dan itu biasanya kalau topiknya (liputan) mereka enggak suka, enggak akan lolos [visanya]. Kacau banget ya?" katanya.

Fixer lain, Iskandar—bukan nama sebenarnya—menyebut ada semacam kelonggaran dalam perizinan untuk acara tertentu.

"Kalau jurnalisnya datang ke sini untuk berita terkini, seperti gempa bumi atau bencana alam atau apa hal yang mendesak, itu bisa ada yang menyampaikan. Tidak perlu fixer. Dan tidak perlu proses perizinan yang sebulan lebih tadi itu. Sesuai dengan diskresinya Kemlu."

Diskresi itu juga termasuk saat jurnalis asing meliput peristiwa khusus semacam konferensi G-20 beberapa waktu lalu.

“Kalau memang boleh langsung,” ujarnya.

Namun, Iskandar mengatakan prosedur perizinan selain peristiwa-peristiwa khusus itu, bisa memakan waktu berbulan-bulan.

"Tergantung orangnya, tergantung topiknya. Nah, itu bisa lebih lama. Kita pernah [mengurus izin] yang bisa bulan-bulanan. Jadi yang sebulan itu yang standar," terangnya.

Halangan lainnya adalah kerap kali permintaan kelengkapan berkas itu berubah-ubah.

Fixer tersebut mencontohkan rencana liputan ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Tim jurnalis sudah datang dan visa sudah dikantongi.

Tapi begitu sampai sini, ada request seperti itu: 'Oh, karena IKN di bawah badan otorita ini, kita mau kalian dapat persetujuan dong dari mereka'. Nah itu tentunya otorita IKN, itu susah kan? Jadi ketika mereka enggak mengeluarkan, akhirnya enggak bisa bergerak, enggak bisa jalan.”

"Jadi sebenarnya dari sisi ditolak langsung itu sebenarnya sekarang mungkin tidak banyak ya. Tapi lebih banyak dokumen-nya. Akhirnya," kata fixer tersebut.

Dia menjelaskan bahwa ketidakjelasan dan pembersihan administrasi dan pemberkasan menjadi hambatan terbesar yang dihadapi jurnalis asing yang memakai jasanya.

"Jadi sebenarnya akhirnya memang di administrasi itu mentoknya. Jadi kegagalannya adalah itu."