Jokowi Vs Penuduh Ijazah Palsu: Adu Nyali atau Adu Bukti?
Joko Widodo
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Sebagai anggota TPUA/ Tim Pembela Ulama dan Aktivis melalui kepemimpinan Eggi Sudjana Sang Legendaris Aktivis Muslim yang notoire feiten (bukti sepengetahuan umum) dan haram ditampik bawah komando seorang tokoh ulama besar di tanah air, TPUA telah lama berburu terkait pengungkapan sosol Jokowi dan indikasi palsunya Ijasah S.1 Jokowi baik secara litigasi, non litigasi melalui pertanyaan serta diskusi publik melalui media (banyaknya video youtube).
Tentu TPUA dengan segala risiko hukum, tidak pantang disebut sebagai sok tahu, bukan juga 'mimikri tiba-tiba berwujud bak kelompok pahlawan kesiangan,' artinya halal tuk melakukan penilaian terkait apakah Jokowi serius akan melaporkan para penuduhnya yang sementara secara ilmiah (forensik digital), beberapa orang pakar IT, yang berani tidak omon-omon dengan keyakinan berdasarkan ilmu pengetahuan yang mereka miliki, sehingga mengeluarkan statemen "Seribu triliun ijazah S.1 Jokowi S.1 dari fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) palsu!".
Secara teori asas-asas hukum pidana terkait delik jenis aduan (pasal fitnah/ latser), orang yang merasa di fitnah lah yang harus menjadi pelapor dan wajib menjalani proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan di hadapan Penyidik Polri.
Selanjutnya, sepengetahuan umum Jokowi dalam rangka menolak tuduhan publik telah menggunakan ijazah palsu, Jokowi kemarin dihadapan beberapa awak media (pers/jurnalistik) langsung memperlihatkan bukti Ijazah miliknya dengan foto ijazah (Jokowi) menggunakan 'kacamata', sehingga otomatis secara hukum Jokowi telah menepis informasi bahwa ijazah 'a quo in casu' miliknya telah hilang!? "Namun informasinya , tidak diizinkan membawa kamera, tidak boleh memfoto dan tidak diberikan foto?"
Tentu saja kontradiktif dengan TPUA, kemarin Rabu, 16 April 2025 Jokowi menerima silaturahim 3 orang anggota yang mewakili atas nama TPUA dan atau mewakili Ketua TPUA Prof.Dr. H. Eggi Sudjana,SH., MSi. Namun Jokowi tidak mau memperlihatkan Ijazah asli miliknya, karena sudah terlanjur menuduh. Kecuali dirinya diminta oleh Hakim di pengadilan.
Dan menurut asas-asas hukum pidana (KUHAP), untuk mendapatkan kebenaran seseorang terlapor (si tersangka, atau si terdakwa) telah melakukan sesuai pasal yang terdapat pada isi laporan adalah pihak penyidik dan atau pihak JPU harus mendapatkan bukti-bukti yang harus mengandung kebenaran materil atau kebenaran yang sebenarnya kebenaran.
Oleh sebab objek benda yang yang dituduh palsu adalah berupa kertas ijazah berikut tinta dan foto manusia, maka dibutuhkan keterangan ahli melalui hasil laboratorium forensik termasuk uji karbon terhadap objek asli ijazah yang dituduh si terlapor merupakan ijazah palsu.
Palsu oleh sebab sebuah kebenaran terhadap sebuah ijazah yang didapatkan melalui proses perkuliahan selama 5 (lima) tahun berikut proses akademik yang umumnya harus dilalui setiap mahasiswa, maka tidak saja membutuhkan kebenaran formil (wujud asli) berupa eksistensi bukti kebenaran adanya kertas asli dan stempel asli yang diakui oleh dua pihak yang menerima (Jokowi) dan yang mengeluarkan (UGM).
Artinya dalam makna hukum, bahwa Jokowi terkait tuduhannya terhadap si pelaku fitnah dader laster (pleger), harus melalui pemenuhan kebenaran yang dimintakan sesuai asas legalitas sahnya sebuah pembuktian terhadap sahnya kebenaran materil terhadap bukti formil (materiele waarheid).
Maka jika Jokowi serius dengan keyakinannya bahwa ijazah S.1 nya asli dan Ia dapatkan melalui asli dari hasil perkuliahan 5 tahun berikut tugas-tugas akademik yang wajar dan semestinya wajib Ia lalui. Untuk itu Jokowi akan termakan atas pernyataannya dirinya selama ini, bahwa "siapa yang menuduh maka dia lah yang harus dapat membuktikan kebenaran materil terhadap tuduhannya terkait tentang objek laporan adanya fitnah.
Sehingga benarnya laporan Jokowi dengan alat bukti dan para saksi serta ahli untuk menemukan hakekatnya kebenaran yang sungguh vital dibutuhkan, bukan saja terhadap nama baik sosok Jokowi dan keluarga, juga menghindari munculnya fitnah sejarah dan tidak kalah penting adalah historis dan hukum tentang kepemimpinan bangsa besar ini, selain itu juga terhadap penyampaian negatif perihal absah atau sebaliknya cacat hukumnya praktik dan produk yang dihasilkan atas keberlangsungan proses politik kenegaraan selama 10 tahun dimasa kepemimpinan negara ini dibawah Jokowi saat menjadi Presiden menurut perspektif politik hukum ketatanegaraan.
Publik tentunya juga ikut menyaksikan kekeliruan yang fatal dan utama serta merupakan faktor yang disengaja oleh Jokowi, karena Jokowi secara sadar telah melakukan pelanggaran terhadap asas transparansi, sebagai salah satu asas yang harus dipatuhi oleh seluruh pejabat publik negara yang harus tunduk dan patuh pada asas good governance yakni Jokowi selalu penyelenggara negara tertinggi seharusnya menjadi panutan, nyatanya tidak mau terbuka untuk mematuhi proses hubungan hubungan yang mengatur terkait antara publik dan pejabat publik Jo. Vide UU.KIP dan perilaku sarat ringkasannya, sehingga dia mendapat julukan "King of lip service" selain temuannya banyak yang berasumsi politik hukum nepotisme jo. obstruksi keadilan yang kesemuanya dipraktikan melalui pola ketidaktaatan yang melanggar hukum positif.
Pastinya apapun hasil keputusan badan peradilan kelak dalam konteks realitas jika ada upaya hukum Jokowi, maka dari segala sisi perspektif dan logika hukum, seorang Jokowi (saat menjabat presiden), tentu tidak dapat melepaskan risiko pertanggungjawaban dirinya baik secara moral dan hukum terhadap segala risiko yang ada, dalam dimensi yang kualitatif dan kuantitatif (kompleks dan multi effect), yaitu dampak terhadap seluruh faktor keputusan serta kebijakan yang menyertainya di semua sektor baik kebijakan politik ekonomi, politik hukum serta edukasi (kerusakan mentalitas budaya bangsa dan termasuk faktor kerusakan moral kepemimpinan) yang diproduksi oleh Jokowi (keppres, perpres, inpres), termasuk Perpu dan RUU yang diinisiasi oleh eksekutif, dan lain-lain serta seluruh keputusan pemerintah (kabinet) pada era kepemimpinan Jokowi sebagai Presiden RI (2014-2024).

