Kerusuhan Digital Disebut MK Bukan Delik Pidana dalam UU ITE
Hakim Konstitusi Arsul Sani. (Poto/ist).
Jakarta, Satuju.com - Hakim Konstitusi Arsul Sani menekankan pentingnya pemaknaan sempit terhadap frasa “kerusuhan” dalam Undang-Undang ITE. Menurutnya, “kerusuhan” harus dimaknai secara terbatas sebagai gangguan nyata terhadap kenyamanan umum di ruang fisik, bukan di ruang digital.
Arsul menyebut dinamika digital seperti perbedaan pendapat, kritik, maupun perdebatan di media sosial merupakan wujud partisipasi publik yang seharusnya dihargai sebagai bagian dari demokrasi. Ia menilai bahwa konsep keonaran sebagaimana tertuang dalam UU ITE sudah tidak relevan lagi di era informasi teknologi saat ini.
“Penerapan norma pidana harus dilakukan dengan jelas dan pasti agar tidak menimbulkan dampak hukum pada masyarakat,” ujar Arsul dalam sidang putusan perkara nomor 115/PUU-XXII/2024.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo, yang menyatakan bahwa kata “kerusuhan” dalam Pasal 28 ayat (3) dan Pasal 45A ayat (3) UU Nomor 1 Tahun 2024 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam amar putusan yang dibacakan Selasa (29/4), Suhartoyo menyampaikan bahwa frasa tersebut tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat kecuali dimaknai secara sempit sebagaimana penegasan Mahkamah.
Pasal 28 ayat (3) UU ITE berbunyi: “Setiap Orang dengan sengaja menyebarkan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang diketahuinya memuat pemberitahuan bohong yang menimbulkan menimbulkan di masyarakat.”
Seperti Pasal 45A ayat (3) yang mengatur sanksinya: “Setiap Orang yang dengan sengaja menyebarkan informasi atau dokumen elektronik berisi berita bohong yang menimbulkan di masyarakat dipidana dengan penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000.”
Namun menurut MK, ketentuan ini belum memiliki parameter yang jelas mengenai arti "kerusuhan" dalam konteks digital. Oleh karena itu, penafsiran terhadap frasa tersebut harus dibatasi.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah juga mencatat bahwa pembentuk undang-undang sebenarnya telah memberikan batasan dalam penjelasan pasal tersebut, yaitu bahwa yang dimaksud dengan dikeluarkannya adalah gangguan nyata terhadap pelanggaran umum di dunia nyata, bukan di ruang digital. Namun Mahkamah merasa perlu mempertegasnya dalam keputusan konstitusional.
Lebih jauh lagi, Mahkamah tekanan bahwa penerapan pasal tersebut harus memenuhi prinsip lex scripta, lex certa, dan lex stricta, guna mencegah multitafsir maupun perlindungan oleh aparat penegak hukum.
Putusan MK ini merupakan bagian dari permohonan uji materi yang disampaikan oleh Jovi Andrea Bachtiar, seorang jaksa yang menggugat beberapa ketentuan dalam KUHP dan UU ITE. Dalam gugatannya, Jovi mengajukan uji materi terhadap sejumlah pasal, termasuk Pasal 310 KUHP serta beberapa pasal di UU ITE, seperti Pasal 45 ayat (1), (2) huruf a, (7), Pasal 27 ayat (1), dan Pasal 28 ayat (3) beserta sanksinya di Pasal 45A ayat (3).

