Polemik Ijazah Jokowi, Pengamat: Penegakan Hukum Anomali dan Tidak Seimbang

Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Jakarta, Satuju.com – Polemik terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat di ruang publik. Dalam wawancara eksklusif dengan Satuju.com, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik), Damai Hari Lubis, mengungkap sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus ini, serta sikap menarik Bareskrim Polri dalam memperingatkan tersangka terhadap pihak-pihak yang memahami keaslian ijazah tersebut.

“Selama satu dekade lebih, masyarakat memaknai keaslian ijazah S-1 Presiden Jokowi. Tapi mereka yang menyuarakan keraguan justru kini diberi label menyebarkan fitnah dan bahkan dilaporkan ke Bareskrim,” ujar Damai Hari Lubis kepada Satuju.com melalui WhatsApp.

Menurutnya, publisitas tersebut didasarkan pada data empiris dan sejumlah temuan hukum, termasuk bukti ilmiah yang sulit disanggah secara rasional. Ia menegaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, setiap warga negara memiliki hak untuk mengkritik dan meminta klarifikasi dari pejabat publik sepanjang berdasarkan data dan tidak bertujuan memfitnah.

Kalau tuduhan itu didasari bukti yang bisa diuji secara hukum, maka harus dijawab dengan klarifikasi terbuka, bukan langsung diproses hukum.Itu amanah konstitusi dan prinsip keterbukaan informasi publik, tambahnya.

Isu ini kembali muncul bersamaan dengan kegaduhan di dunia maya, menyusul hadirnya akun Fufu Fafa di forum Kaskus yang menyentil keluarga besar Presiden terpilih Prabowo Subianto. Namun menurut Damai Hari Lubis, belum tampak keseriusan Bareskrim dalam menyelidiki akun tersebut, meski sudah menimbulkan keresahan publik.

“Publik menduga kuat bahwa pemilik akun tersebut adalah Gibran Rakabuming Raka, yang kini Wapres RI. Namun hingga kini belum ada klarifikasi dari Gibran, bahkan Presiden Jokowi sendiri tidak mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang merugikan nama baik Gibran dan keluarga,” ujar Damai.

Lebih jauh lagi, ia menyoroti ketidakhadiran ijazah asli Jokowi dalam dua proses hukum penting, yakni saat mediasi di PN Jakarta Pusat tahun 2023 dan yang terbaru di PN Surakarta. Padahal, menurut Perma Nomor 1 Tahun 2016, proses mediasi seharusnya menjadi sarana untuk menyelesaikan penyelesaian secara terbuka dan transparan.

“Kalau memang ijazahnya asli, kenapa tidak ditampilkan di forum resmi? Ini menjadi dasar hukum bahwa Jokowi sebagai pejabat publik tidak patuh terhadap asas keterbukaan informasi,” ucapnya tegas.

Damai Hari Lubis mengingatkan bahwa jika hasil laboratorium forensik menyatakan ijazah Jokowi asli, namun pihak yang berpikiran tetap dijadikan tersangka, maka hal ini merupakan bentuk anomali penegakan hukum. Menurutnya, seharusnya yang lebih dulu dikritisi adalah penyebab utama kegaduhan—yakni pihak yang tidak membuka informasi publik dengan jelas.

“Dalam teori hukum, ini disebut conditio sine qua non—tanpa sebab utama, maka akibat tidak akan muncul. Jika Presiden Jokowi tidak membuka informasi publik sebagaimana mestinya, maka tidak akan terjadi pencemaran yang meluas seperti ini,” paparnya.

Ia juga menyoroti bahwa Jokowi bisa dinilai lalai (culpa) dalam memenuhi kewajiban hukumnya sebagai pemimpin negara.

“Sebaliknya, andai ternyata hasil laboratorium justru membuktikan ijazahnya palsu, tapi Bareskrim tidak menetapkannya sebagai tersangka, itu justru menjadi pelanggaran terhadap prinsip supremasi hukum. Ini yang harus diwaspadai publik,” pungkas Damai Hari Lubis.