Ketidakhadiran Abraham Samad dan Kekecewaan Moral Kami di TPUA

Abraham Samad. (Poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik) 

Satuju.com - Kepercayaan adalah hal mahal dalam perjuangan hukum dan advokasi. Terlebih ketika perjuangan itu menyangkut pembelaan terhadap para aktivis dan ulama yang hari ini sedang menghadapi potensi kriminalisasi melalui jalur hukum oleh pihak penguasa. Maka ketika kepercayaan itu dikhianati, kekecewaan tentu bukan sekadar luapan emosi pribadi, tapi bentuk penegasan moral kepada publik: siapa sebenarnya yang berdiri bersama kebenaran dan siapa yang hanya menjadikannya panggung popularitas.

Kami dari TPUA merasa sangat kecewa atas ketidakhadiran Abraham Samad, mantan Ketua KPK, yang sebelumnya diinformasikan akan turut serta sebagai pengacara pendamping dalam kasus yang sedang kami perjuangkan, khususnya terkait laporan Presiden Jokowi terhadap Roy Suryo dan kawan-kawan. Publikasi mengenai keikutsertaannya telah beredar luas, dan harapan pun tumbuh bahwa ini akan menjadi langkah strategis untuk memperkuat barisan pembelaan dari sisi integritas dan pengalaman.

Namun fakta berbicara lain. Ketika waktu klarifikasi tiba—yakni momen krusial yang membuktikan komitmen—Abraham Samad justru tidak hadir. Ketidakhadiran ini jelas memunculkan pertanyaan besar: bagaimana mungkin seseorang yang sedang dalam status sebagai subjek hukum terperiksa bisa sekaligus berperan sebagai pendamping hukum bagi pihak lain? Bukankah hal itu bertentangan secara etik dan yuridis?

Dalam UU Advokat maupun KUHAP serta aturan internal kepolisian, prinsip kepatutan dan profesionalisme sangat dijunjung tinggi. Seseorang yang belum menyelesaikan status hukumnya sebagai pihak yang diminta klarifikasi, secara etik tidak pantas tampil sebagai pendamping hukum. Hal ini tidak hanya menyangkut kredibilitas pribadi, tetapi juga berpotensi mencoreng perjuangan hukum yang sedang dijalankan oleh tim kami.

Lebih jauh lagi, ketidakhadiran ini juga memperkuat kesan bahwa nama Abraham Samad hanya dijadikan alat promosi atau bahkan sekadar gimmick media. Ini adalah bentuk eksploitasi simbolik yang sangat tidak etis, apalagi dalam isu serius seperti dugaan kriminalisasi terhadap aktivis. Jika ini benar terjadi, maka pihak yang mendalangi pencitraan ini—yang kami sebut sebagai "buzzer A" alias Mr. Danger—harus bertanggung jawab secara moral di hadapan publik.

Kami tidak akan tinggal diam. TPUA akan terus berdiri bersama para aktivis, para ulama, dan rakyat yang menginginkan keadilan. Kami tidak butuh tokoh-tokoh besar yang hanya hadir di media tetapi absen dalam perjuangan nyata. Kami butuh integritas, konsistensi, dan keberanian.

Dan kepada rekan-rekan seperjuangan—Roy, Rismon, Eggi Sudjana, Rizal Fadillah, dan Kurnia Tri Royani—kami tegaskan bahwa perjuangan ini tidak akan berhenti hanya karena satu figur yang mengecewakan. Justru dari sini kita belajar: siapa kawan sejati dan siapa yang sekadar numpang nama.