Kontroversi Skripsi Jokowi: Antara Pengakuan dan Kebenaran Materil
Skripsi Jokowi. (Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi), dalam sebuah kesempatan resmi di Universitas Gadjah Mada (UGM), menyampaikan cerita personalnya tentang proses penulisan skripsi yang dibimbing oleh seorang dosen bernama Kasmudjo. Cerita tersebut disampaikan di hadapan para tamu undangan dan telah tersebar luas melalui berbagai media sosial. Dalam narasinya, Jokowi menggambarkan bagaimana ia berkali-kali harus memperbaiki skripsi jurusan Teknologi Kayu yang dibimbing oleh Kasmudjo. Menariknya, Kasmudjo yang hadir saat itu tampak hanya tersenyum dan tertawa ringan, seolah membenarkan cerita tersebut.
Namun, pernyataan terbaru Kasmudjo justru menimbulkan pertanyaan besar. Ia mengaku bahwa dirinya bukanlah dosen pembimbing skripsi Jokowi. Ini bukan sekadar klarifikasi pribadi—pernyataan tersebut membuka kembali kotak pandora tuduhan publik terhadap keabsahan ijazah S-1 Presiden Republik Indonesia ketujuh itu.
Tentu saja, pengakuan semata tidak bisa dijadikan alat bukti tunggal dalam sistem pembuktian hukum. Tetapi dalam konteks penyelidikan, pengakuan merupakan pintu masuk penting untuk menggali bukti-bukti pendukung lainnya. Apalagi jika pengakuan tersebut berlawanan secara langsung dengan narasi publik yang telah dibangun oleh tokoh sekelas presiden.
Jika benar pengakuan Kasmudjo tersebut dapat berfungsi, maka akan menambah panjang daftar dugaan publik yang ditujukan kepada Jokowi. Lebih dari itu, pengakuan ini secara substantif memberi justifikasi terhadap kualitas publik mengenai dugaan penggunaan ijazah palsu oleh Jokowi dari UGM.
Dalam konteks hukum, penyidik Bareskrim Mabes Polri seharusnya menempatkan pengakuan Kasmudjo ini sebagai salah satu unsur dalam upaya pembuktian kebenaran materil. Bukti ini bahkan dapat lebih dianggap relevan secara forensik daripada sekadar pernyataan formal dari pihak universitas, termasuk dari mantan Rektor UGM Pratikno dan Rektor saat ini, Prof. Ova Emilia. Pernyataan mereka bisa saja bersifat administratif atau politis, namun tidak serta-merta mencerminkan fakta substantif di lapangan.
Penyelidikan pun sudah diperkirakan. Selain memeriksa kembali catatan akademik dan hasil laboratorium forensik, penting untuk mendalami peran dan pernyataan para pihak yang selama ini menjadi "penjaga narasi" keabsahan ijazah Jokowi. Itu termasuk para pejabat UGM, dekan Fakultas Kehutanan, dan alumni yang mengaku satu angkatan dengan Jokowi.
Dalam konteks ini, pengakuan Kasmudjo memiliki nilai strategis. Ia dapat menjadi alat untuk menemukan kebenaran materil, bahkan menjadi semacam penahanan sementara (barrier) terhadap proses hukum yang sedang berjalan, terutama laporan Presiden Jokowi terhadap Roy Suryo dan rekan-rekannya.
Bareskrim Polri memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga netralitas dan profesionalisme dalam menangani kasus ini. Fokusnya seharusnya diarahkan secara tujuan, menyeluruh, dan tidak diskriminatif. Termasuk, jika perlu, memeriksa ulang peran para tokoh penting di balik pengesahan status akademik Presiden.
Karena pada akhirnya, kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan pemimpin negara akan ditentukan sejauh mana kebenaran mampu ditegakkan di atas bukti, bukan di atas narasi semata.

