Skripsi Asli, Dusta Nyata: Saat Jokowi Tak Bisa Lari dari Fakta Digital
Ilustrasi.(Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Terkait ijazah S-1 dan skripsi yang diakui asli oleh Jokowi namun tuduhan publik palsu, kali ini tidak dapat berkelit atau berbohong seperti perilakunya yang banyak mendustai rakyat bangsa ini ketika dia menjadi Presiden RI bahkan bertahan pasca presiden menjabat
Bagimaimana bisa Jokowi berlaku curang dalam melawan pertandingan serangan ekstrim dari gabungan alàt benda mati (ilmiah) yang berbasis IT (Information Technolgy) yang tujuan dan esakta, yang tidak punya rasa takut kepada siapa pun, tidak takut untuk tampil dengan bintang yang berderat di bahu, apalagi rivalnya hanya sekedar rektor atau dekan dari perguruan tinggi, bahkan siap diperintah mengejar ke seluruh isi kabinet
Karena lawan Jokowi nota bene berupa benda mati, uratnya dari serabut tembaga, sehingga tak punya rasa takut, dan operator IT ada di dalam genggaman 2 (dua) orang pakar IT. Roy Suryo ahli telematika dan informatika serta Dr. Rismon Sianipar, pakar forensik digital yang punya nafas merk 'maju tak gentar'
Memang sebuah kekuasaan itu ada masanya, dan masa tersebut sudah sirna dari "perampok kekuasaan" yang bernama Jokowi, yang bakal kalah oleh perangkat benda mati, Jokowi akan dibuat bertekuk lutut, melalui proses hukum yang berkepastian, bermanfaat dan belalaku adil, sèsuai tujuan dan fungsi hukum
Dan nampaknya geliat rakyat akan berotasi normal kembali bergerak selangkah demi selangkah kembali menuju poros sistim konstitusi, yakni kedaulatan ditangan rakyat, bukan dalam kekuasaan segelintir orang yang sarat aroma bunga bangkai sosok Jokowi dan kroni
Prediksi publik, Jokowi yang pernah dijuluki Si Raja Bohong oleh syair lagu dan juga pernah diberi gelar The King of Lip Service oleh sekelompok mahasiswa, tidak mungkin liciknya akan berinisiatif gunakan jurus rekonsiliasi atau bahasa kerennya 'restorative Justice', karena lahir gejala-gejala yang mulai diinisiasi lewat sounding "rekan lama", sosok Jimly Ashiddiseqie Kakak Kelas Anwar Usman adik Ipar Jokowi
Jika jurus politik sosok 'megalomania' versi restoratif, tentu muncul polemik raya, karena perkara akbar Jokowi versus rakyat, bukan sebuah kepatutan dengan metode rekonsiliasi, karena korban Jokowi adalah seluruh rakyat bangsa ini, bukan sekadar tetangga rumahnya di Solo, termasuk kerugian faktual yang dialami oleh para benda mati; tanah dan udara serta samudera dan seluruh isinya serta kerusakan saluran moralitas para pemimpin bangsa ini, sehingga implikasi dari faktor kepemimpinan Jokowi dalam satu dekade, terbukti berdampak kerugian yang berkesinambungan dan highrisk di banyak sektor, baik ekonomi, politik, hukum dan degradasi dunia pendidikan dam ilmu pengetahuan, termasuk adab & budaya, termasuk residu revolusi mental yang dicanangkan Jokowi telah mengkontaminasi mentalitas atau pola berpikir seluruh anak bangsa, dengan dampak negatif kedepannya
Maka pastinya rasa keadilan yang mesti ideal ditegakan bakal sulit didapat, meski sekadar dicicipi, andai keadilan dipaksakan melalui rekonsiloasi ala ewuh pakewuh atas dasar voting
Pertanyaannya, apakah kalimat klasik dan tetap melekat sakral, 'Indonesia adalah negara hukum' yang dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 sudah diamandemen menjadi Indonesia adalah negara voting?

