Ijazah Jokowi dan Diamnya Sistem Hukum: Sebuah Teka-Teki Keadilan

Ilustrasi. (Poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Jokowi jelas-jelas diam seribu basa ketika dimintakan ijazah aslinya diungkapkan oleh Para Pengacara Bambang Tri Mulyono dan Gus Nur di konferensi didepan Majelis Hakim dan JPU di Pengadilan Negeri Surakarta. 

Begitu juga pada tahap mediasi perkara perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tahun 2023 oleh Kuasa Hukum Penggugat Jokowi selaku Tergugat prinsipal atau melalui kuasanya, dimintakan untuk menampilkan Ijazahnya, "maka gugatan akan dicabut oleh Para Penggugat sehingga case close", selesai perkara Ijazah Palsu.

Sama bertahan, Jokowi juga menolak saat diminta menampilkan ijazah aslinya di Pengadilan Negeri Surakarta, saat mediasi, yang nota bene gugatan perdatanya saat artikel ini tayang, masih bergulir.

Dan tentu sudah sepengetahuan masyarakat saat di rumahnya di Solo, 16 April 2025, juga pada 21 Mei 2025 di Bareskrim Mabes Polri, Jokowi dengan tegas namun ambigu bahkan 'ngeyelitas' menolak mematuhi undang-undang dengan pola, "hanya akan menyerahkan dan menampilkan jika pengadilan yang meminta". Hal pernyataan Jokowi ini juga menggambarkan dirinya tentu tidak menyerahkan ijazah aslinya kepada pihak Mabes Polri, lalu darimana datangnya hasil laboratorium forensik digital yang dimiliki Bareskrim Polri?

Selanjutnya patut dinyatakan sesuai asas teori kausalitas, "justru Jokowi patut di-judge telah melakukan kegaduhan", ini bukan tuduhan tapi kenyataan, karena Jokowi nyata opzet atau sengaja berkehendak atau niatan untuk melanggar sitim hukum (men rea) dan terbukti dirinya tidak mau menampilkan ijazahnya meski secara terbuka dimintakan oleh publik termasuk oleh TPUA, namun (ambigu) terhadap 11 awak media, kata Jokowi dirinya menampilkan ijazah aslinya. Serta infonya tidak boleh difoto?

Jokowi yang mantan Presiden RI dan atau Para Advokat Kuasa hukumnya seharusnya mengetahui (vide asas fiksi hukum) bahwa Perma Nomor 1 Tahun 2016, tegas diperintahkan kepada Para hakim yang di Pengadilan Negeri di tanah air, bahwasanya "pada acara berlangsungnya gugatan perdata, sebelum masuk ke acara jawaban atau eksepsi terhadap surat gugatan, agar seluruh pengadilan negeri memasuki tahapan mediasi (musyawarah perdamaian)?"

Dan pastinya sebagai pejabat publik (penyelenggara negara) justru Jokowi seharusnya menjadi panutan, patuh kepada Undang-Undang Tentang Keterbukaan Informasi Publik/ UU. TIDUR?

Tentu menjadi pertanyaan masyarakat hukum, "kenapa Jokowi tidak mau mematuhi sistem hukum, meskipun dirinya melekat primus inter pares (keistimewaan) namun tetap harus tunduk kepada ekualitas hukum, sesuai asas supremasi hukum di dalam UUD. 45, "Negara RI adalah rechtsstaat".

Oleh karena itu ternyata didapati berbagai keanehan dalam pola praktik Bareskrim yang ditemukan oleh masyarakat kalangan hukum, dalam melakukan investigasi Pengaduan TPUA (Tim Pembela Ulama dan Aktivis) pada 9 Desember 2024, pola penyelidikan Bareskrim terhadap dugaan Ijazah Palsu S-1 Jokowi dari UGM terdapat kejanggalan extra biasa, karena telahnya Ijazah S-1 Jokowi adalah asli hanya "karena identik dengan yang asli", lalu dimana letak nilai hukum yang 'Teori Komparasi' terhada ijazah asli milik siapa? Andai ada hasil labfor, kapan dilakukan dan mana catatan asli detail analisisnya siapa petugas forensik nya? Mengapa pra analisa barang atau benda ijazah (surat asli) dilakukan secara diam-diam, bukan pihak polri juga terikat dengan asas keterbukaan publik dan ketidakberpihakan sesuai undang-undang Polri dan Perkappolri? Dan Bareskrim sebagai anggota Polri juga terikat pada prinsip tata kelola yang baik yang terdapat pada UU. Tentang Penyelenggara Yang Bersih Bebas dari KKN (vide UU. No. 28 Tahun 1999).

Informasi publik menyatakan kemungkinan besar Jokowi memang pernah kuliah di UGM Fakultas Kehutanan, namun tidak lulus atau DO, maka dugaan publik ini benar, Jokowi memang tidak layak menyandang gelar Insinyur dari UGM dan mustahil memiliki Ijazah Asli?

Maka tentunya demi hukum, walaupun terlambat agar Bareskrim Mabes Polri segera melakukan investigasi ulang demi membenahi kinerjanya diantaranya kesiapan menyiarkan apa yang perlu diketahui oleh masyarakat bangsa ini Jo. UU KIP terutama pertanyaan dari TPUA apa hasil analisis dari alat bukti pengaduan TPUA diantaranya temuan ahli IT yang analisisnya, dengan tegas disampaikan kepada masyarakat, bahwa “Ijazah S-1 Jokowi adalah palsu”. 

Maka logika akibat hukumnya kedua ahli IT tersebut wajib disertakan sebagai subjek hukum yang ikut diklarifikasi sebagai bentuk pertanggungjawaban hukum dan moral dari hasil analisa mereka. Bahkan dengan analisis tendensius-nya menyatakan bahwa Ijazah Jokowi 1000 triliun adalah palsu.

Maka wajar saja banyak masyarakat yang tidak mempercayai hasil pengumuman Bareskrim Polri dan meminta diulangi dengan memeriksa analisis dua orang pakar IT yang bersertifikat bahwa 'Ijazah S-1 Jokowi palsu dengan tingkat wajar 100 persen' 

Jika tidak transparansi sesuai sistem hukum, maka demi kepastian hukum dan rasa keadilan 'jangan paksa' rakyat bangsa ini untuk percaya hasil labfor Polri, tentu yang tidak percaya dan menolak adalah TPUA sebagai para pengadu TPUA dan pastinya Kedua Orang Ahli yang dipercaya oleh TPUA dengan bukti analisisnya. Terlebih lagi pengakuan terhadap ijazah asli itu kepunyaan dari sosok pemilik track record dengan total akumulasi melakukan puluhan kali ringkasan, sehingga mendapat sebutan si Raja Bohong atau The King of lip Service.