Terkait Pemahaman Hukum antara Ijazah Asli dan Palsu: Sebuah Studi Kasus
Ilustrasi.(Poto/net)
Penulis: Damai Hari Lubis Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Klasifikasi dan Ciri Kasus:
1. Kasus Pertama:
Seorang subjek hukum tidak pernah mengikuti ujian, tidak menyelesaikan kuliah, tetapi ikut dalam proses wisuda dan memiliki skripsi. Maka dapat dipastikan bahwa skripsi dan ijazahnya adalah palsu. ini Perilaku yang melanggar norma hukum dan mencerminkan tindakan yang tidak beradab (amoral).
2. Kasus Kedua:
Subjek hukum menyelesaikan kuliah dan lulus ujian, namun skripsinya dibuat oleh orang lain atau hasil plagiat (meskipun telah diganti judul), dan ia tidak mengikuti wisuda. Dalam hal ini, ijazah dan skripsi secara administratif tetap dinyatakan asli, namun secara etika perilaku tersebut melanggar norma dan moral akademik.
Pertanyaannya kemudian: Dalam ilustrasi studi kasus ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk dalam kategori kasus pertama atau kedua?
Seiring dengan beredarnya tuduhan dari seorang pakar IT mengenai keaslian ijazah Presiden Jokowi, muncul pula analisis dari berbagai kalangan masyarakat yang berbasis pada pendekatan fisik (empiris) serta pembacaan terhadap bukti hukum, termasuk putusan vonis yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sejumlah pihak pun menyatakan bahwa Presiden adalah pengguna ijazah S-1 palsu.
Tuduhan ini kemudian direspons oleh pelapor, yakni masyarakat yang awalnya tidak memiliki afiliasi politik maupun kepentingan bisnis, melainkan berniat menyumbangkan ilmu demi mencari kepastian hukum dan keadilan. Namun niat tersebut justru berbenturan dengan laporan balik yang berasal dari pihak terduga pengguna ijazah palsu itu sendiri.
Menuju Proses Hukum:
Kini, proses hukum telah berjalan dan masuk ke tahap penyelidikan serta penyidikan. Dalam konteks ini, penting untuk ditegaskan bahwa menurut asas hukum pidana, suatu putusan hanya dapat dijatuhkan setelah proses pencarian kebenaran materiel (bukan sekadar kebenaran formil) benar-benar dilalui.
Klaim bahwa ijazah sudah diuji di laboratorium pun patut dipertanyakan. Apa yang diuji? Ijazah siapa yang dijadikan komparasi? Apakah hasil laboratorium tersebut dapat diakses oleh pihak tersangka atau terdakwa untuk diuji ulang di laboratorium independen? Semua itu harus dibuka secara transparan di hadapan majelis hakim.
Sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), keterangan yang sah adalah pernyataan langsung yang disampaikan di hadapan majelis hakim dalam ruang sidang, bukan sekadar pendapat ahli di luar proses persidangan.
Peran Penegak Hukum dan Hakim:
Mulai dari penyidik, jaksa penuntut umum, hingga hakim yang dijuluki “wakil Tuhan di muka bumi”, semua wajib bersikap objektif, profesional, dan proporsional. Mereka harus memeriksa apakah pelapor (dalam hal ini pihak yang mengungkap dugaan ijazah palsu) memiliki dasar hukum, perintah hukum, atau amanat hukum untuk menyampaikan temuannya.
Penting pula bagi hakim untuk mengkaji secara saksama latar belakang si pelapor: apakah ia memiliki riwayat tidak bermoral, kebiasaan berdusta, atau bahkan perilaku kriminal? Ini berkaitan dengan prinsip notoire feiten notorius—yakni fakta yang sudah menjadi pengetahuan umum.
Hak Terdakwa dan Prinsip Kehati-hatian Hukum:
Dalam hukum pidana, tidak boleh ada kemudahan ataupun kesulitan yang berlebihan dalam memenjarakan seseorang. Hak tersangka atau terdakwa harus benar-benar dihormati, diperhatikan secara ekstra hati-hati, dan diperiksa secara seksama.
Hakim harus menggali lebih dalam semua aspek hukum dan fakta yang relevan. Putusan hukum tidak boleh hanya bersandar pada asas legalitas (negatief wettelijke bewijs theorie), tetapi juga harus mempertimbangkan keyakinan hati nurani hakim (conviction in time), sebagaimana dijelaskan dalam Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman dan KUHAP.
Penutup:
Sebagai penegak keadilan, hakim hendaknya merenungi adagium para filsuf hukum: “Lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah.”
Karena kelak, setiap penegak hukum akan berhadapan pula dengan “korban-korban kedzaliman” di Mahkamah yang lebih tinggi: Mahkamah Akhirat.
Penulis adalah:
* Anggota Dewan Penashat DPP. KAI (Kongres Advokat Indonesia) Periode 2025-2030.
* Ketua DPP Bidang Hukum & HAM. KWRI (Komite Wartawan Reformasi Indonesia).
* Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat.

