Apresiasi terhadap Laporan PDIP atas Budi Arie: Antara Kepentingan Politik dan Upaya Penegakan Hukum
Budi Arie
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Langkah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) melaporkan Budi Arie ke penyidik Polri layak mendapat perhatian serius dari masyarakat pemerhati penegakan hukum. Dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap inisiatif untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas—apalagi terhadap pejabat publik—harus diapresiasi. Namun demikian, tak dapat dimungkiri bahwa langkah hukum semacam ini, ketika dilakukan oleh entitas politik, nyaris tak pernah steril dari kepentingan pragmatis.
PDIP, sebagai kekuatan politik besar yang sedang memetakan ulang posisinya pasca-pemilu, tampaknya sedang mengirimkan pesan politik yang berlapis. Pertama, ini merupakan bentuk sindiran keras kepada Presiden bahwa masih ada “penyakit” dalam tubuh kabinet Koalisi Merah Putih (KMP), tempat Budi Arie berada. PDIP, meskipun kini berada di luar lingkar kekuasaan utama, tetap ingin menunjukkan bahwa mereka memiliki daya kontrol moral terhadap jalannya pemerintahan.
Kedua, pelaporan ini bisa dibaca sebagai dukungan tak langsung terhadap Presiden Prabowo Subianto melalui jalur politik di Senayan. Selama ini, Presiden Prabowo terkesan membiarkan Budi Arie bertindak tanpa koreksi. PDIP seolah ingin membantu Prabowo "membersihkan" kabinet dari figur-figur bermasalah, tentu dengan imbalan posisi tawar yang lebih kuat.
Ketiga, ini mungkin bagian dari prasyarat PDIP untuk membuka pintu koalisi dengan pemerintahan baru. Syarat utama yang mereka sampaikan, yakni menyingkirkan Gibran—yang dianggap sebagai simbol pengkhianatan terhadap PDIP—masih menjadi batu sandungan. Namun pelaporan terhadap Budi Arie dapat dibaca sebagai kartu negosiasi tambahan.
Keempat, ini adalah ujian internal bagi loyalitas kader PDIP di parlemen, sekaligus tes ombak terhadap respons fraksi-fraksi lain di Senayan. PDIP tampaknya ingin mengukur seberapa besar dukungan legislatif yang bisa mereka bangun untuk menggulirkan tekanan politik yang lebih besar.
Kelima, langkah ini menjadi pukulan simbolik terhadap sisa-sisa kekuasaan politik Presiden Jokowi, terutama dalam upayanya mempertahankan Gibran sebagai wakil presiden terpilih yang dinilai banyak pihak memiliki cacat konstitusi. PDIP tampaknya masih menyimpan bara perlawanan terhadap dominasi politik Jokowi di akhir masa jabatannya.
Di titik ini, publik tentu berharap bahwa laporan terhadap Budi Arie bukan sekadar bagian dari sandiwara politik kekuasaan. Namun jika laporan ini memang dilandasi bukti kuat dan semangat penegakan hukum, maka siapa pun yang melakukannya—baik partai politik maupun individu—layak mendapatkan apresiasi. Hukum harus berdiri di atas semua kepentingan, bahkan ketika ia datang dari manuver politik.

