Raja Ampat Terancam: Tambang Nikel Rusak Lingkungan, Publik Geram
Tambang Nikel di Raja Ampat.(Poto/net)
Jakarta, Satuju.com - Polemik mengenai adanya aktivitas penambangan nikel di wilayah Raja Ampat membuat masyarakat kembali geram.
Pasalnya aktivitas pertambangan itu terhitung relatif sangat dekat dengan objek parisiwata nasional yang dijuluki 'Surga Terakhir Indonesia'.
Greenpeace Indonesia mengungkap dampak serius tambang nikel terhadap lingkungan di Kepulauan Raja Ampat. Dalam laporan terbaru, organisasi ini menyatakan bahwa aktivitas penambangan telah merusak pesisir, merusak terumbu karang, serta membabat hutan alam pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Iqbal Damanik, menyebut bahwa penerbitan izin usaha penambangan kepada lima perusahaan di wilayah ini telah melanggar hukum.
“Ketika IUP itu diterbitkan saja sudah melanggar aturan, harusnya saat mengajukan (izin) tidak diproses oleh pemerintah,” kata Iqbal, dikutip dari BBC, Sabtu (7/6/2025).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, sebelumnya telah memutuskan mengizinkan sementara operasi tambang nikel di Pulau Gag, bagian dari Raja Ampat.
Menyanggapi hal tersebut, pengamat politik Muhammad Sutisna mengatakan bahwa di luar pemberitaan tambang di Raja Ampat yang merugikan lingkungan dan masyarakat adat setempat, terdapat tokoh-tokoh yang ikut terdampak secara negatif akibat pertambangan di Raja Ampat tersebut. Yakni Presiden Prabowo.
“Ya narasi yang bernada negatif soal Raja Ampat, pasti sedikit banyak berpengaruh pada elektabilitas dan tinggkat kepercayaan kepada Presiden Prabowo,” Kata Muhammad Sutisna kepada awak media, Sabtu (07/06/2025).
Selain itu Muhammad Sutisna yang juga Co founder dari Forum Intelektual Muda (FIM), pada dasarnya, elektabilitas presiden masih baik, namun apabila kita breakdown pada elektabilitas kabinetnya, hal berbeda dapat kita temui.
Bahwa ada hal yang tidak berbanding lurus dengan elektabilitas presiden sebagai figur dan kabinet pemerintahan.
“Karena jika kita melakukan koreksi lebih dalam, terkait adanya masalah di kabinet yang berkaitan dengan presepsi publik, pola pikir publik pasti akan menyasar langsung kepada presiden sebagai kepala pemerintahan,” ujar Sutisna.
Selanjutnya alumni Magister Kajian Ketahanan Nasional UI ini juga menjelaskan, bahwa apabila presiden memiliki menteri yang menjadi sorotan publik yang dapat menjadi cermin negatif bagi RI 1, maka jalan secepatnya harus diambil Langkah tegas untuk adanya refhuflle kabinet.
“Apalagi jika kita melihat bahwa isu lingkungan di Raja Ampat adalah narasi kulminasi dari banyaknya keresahan masyarakat terkait kondisi ekonomi saat ini yang sangat lesu.
Banyaknya kemiskinan, PHK massal, utang luar negeri, penerimaan sektor pajak yang minim, membuat sektor perdagangan semakin menjadi sorotan,” tutur Sutisna.
Sutisna menambahkan dalam wacana tersebut, nama Harvick Hasnul Qolbi menyebutkan sebagai salah satu sosok yang dinilai layak untuk mengisi peran strategis.
Harvick Hasnul Qolbi merupakan tokoh tidak asing dalam dunia pemerintahan, agraria dan perdagangan.
Aktivitasnya nasional yang beragam dan konsisten dalam dunia perekonomian menunjukkan komitmennya dalam mendorong pemberdayaan masyarakat serta pembangunan ekonomi dari akar rumput.
Dengan latar belakang tersebut, Harvick dinilai memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari solusi dalam menghadapi tantangan ekonomi nasional saat ini, Seperti menjadi Menteri Perdagangan.
Keberadaannya di dalam kabinet diyakini dapat memperkuat upaya pemerintah dalam membenahi fondasi perekonomian Indonesia, terutama melalui kebijakan yang menyentuh langsung sektor produktif.
Langkah-langkah strategi yang bisa diambil antara lain meningkatkan kualitas produk domestik. Indonesia harus meningkatkan daya saing ekspornya dengan mendorong kualitas sumber daya manusia, memanfaatkan teknologi, serta menciptakan inovasi dalam proses produksi.
Selain itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi dengan lancarnya prosedur perizinan, sehingga memudahkan aktivitas bisnis dan perdagangan.

