Legasi Amuba Kekuasaan dan Krisis Etika di Balik Privatisasi Kesehatan Jokowi
Jokowi.(Poto/net)
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Desas desus atau rumor banyak didapati dari berbagai sumber nara di banyak media sosial masyarakat bahwa eks Presiden RI ke-7 Joko Widodo ditengarai saat ini secara medis (kesehatan), seolah sedang mengidap gejala-gejala sebuah penyakit.
Rumornya, penyakit yang di derita Jokowi, diduga berawal dari faktor tekanan jiwa (mentalitas) karena rasa kekhawatiran terhadap pertanggungjawaban etis (moral) dan hukum akibat berbagai diskresi yang "keliru" dalam menjalankan kepemimpinannya saat berkuasa, Jokowi menggunakan metode tradisional dengan asas suka-suka, bahkan malah Jokowi oplos dengan janji-janji bohong, sehingga indikasinya banyak menghasilkan kegagalan. Karena pola kepemimpinan Jokowi nir ideal, tidak profesional dan tidak proporsional.
Terbukti pola kepemimpinan dan karakter Jokowi yang “doyan” berbohong keliru (karakter buruk dan pola kebijakan yang salah saat memimpin), merusak sendi-sendi kehidupan negara disektor politik, ekonomi dan hukum termasuk dari sisi adab dan budaya.
Diantara kerusakan tersebut adalah:
1. Di sektor kebijakan politik ekonomi yang "tradisional dan suka-suka" terbukti agenda IKN dan Sirkuit Mandalika, Bandara Kerta Jati di Majalengka (BIJB) mubazir kan uang negara dengan tumpukan utang.
2. Sektor politik hukum, tumpang tindih penerapan hukum atau antitesis (anomali) penegakan hukum. Contohnya, cawe-cawe atau nepotisme (keberpihakan) kepada anaknya Gibran, Kaesang dan Kahiyang serta Bobby Nasution, juga melakukan obstruksi terhadap para oknum pejabat terindikasi korupsi, dengan berlaku pembiaran (disobedient) atau otoritas kekuasaannya untuk memerintahkan para aparat hukum melakukan tindakan hukum;
3. HGU 190 tahun untuk warga asing, PSN PIK2, pengerukan nikel di Raja Ampat, Papua menyisakan sisa politik ekonomi dan hukum yang merugikan negara dan mendzolimi seluruh bangsa ini.
Khusus terkait faktor adab (moralitas) dengan karakter khas doyan bohong, warisan dan merasuk mentalitas banyak oknum pejabat publik dan penyelenggara negara saat ini'.
Sehingga diperlukan antisipasi agar karakter hobi dusta ala Jokowi, tidak menjadi amuba yang pecah lalu selnya merusak mentalitas individu-individu masyarakat umum kalangan kelas menengah ke bawah.
Dan akibat faktor kepemimpinan Jokowi yang buruk (kepemimpinan buruk), melahirkan gejala gejala tuntutan publik yang eksis melalui suara keras dari para aktivis lintas kalangan, dalam bentuk protes, kritisi dan diskusi publik serta demontrasi, serta mosi tuntutan para tokoh purnawirawan TNI. Tuntutan non litigasi juga dilakukan publik dengan cara dialog dan monolog menggunakan media (mainstream dan konvensional), dan termasuk melahirkan upaya litigasi yang eksis melalui jalur badan peradilan.
Demi mencegah kerusakan moralitas dan mentalitas (pola berpikir) yang berkelanjutan yang dialami para pemimpin bangsa saat ini kedepannya, dan dikaitkan dengan pertanggung jawaban hukum atas perbuatan setiap orang yang dilakukan dalam kehidupan sosial di NRI yang melanggar hukum, harus ada tindakan hukum yang serius Merujuk rule of law dan penegakannya harus equal, maka terkait kebijakan politik eks presiden Jokowi saat berdaya, andai didasari pada kejadian dan atau tindakan, lalu pelanggaran faktual ekonomi dan hukum bagi bangsa dan negara, serta demi sejarah hukum tanah air yang jujur dan dan tidak menimbulkan fitnah dan kegaduhan publik kedepannya akibat pro kontra, maka demi kepastian hukum dan manfaat efek jera untuk mencegah kerusakan moralitas pemimpin yang berkelanjutan serta memberikan rasa keadilan bagi masyarakat umumnya, serius dan urgensi terhadap faktor hukum atas segala perbuatan Jokowi saat berkuasa, termasuk misteri Ijazah Palsu S-1 nya, maka ideal penguasaan kontemporer mengakomodir (fasilitasi) secara privat kesehatan Jokowi, terutama mentalitasnya (faktor kejiwaan) agar tidak “uzur” saat menjalani proses pertanggungjawaban hukum.

