Kesehatan Jokowi dan Tanggung Jawab Etika Informasi Publik

Jokowi.(Poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Pernyataan resmi ajudan Presiden ke-7 Republik Indonesia, Kompol Syarif Fitriansyah, pada Kamis (5/6/2025), menyebut bahwa Bapak Jokowi sedang dalam masa pemulihan akibat alergi kulit pasca perjalanannya ke Vatikan. Hal ini disampaikan melalui media detikJateng di Sumber, Banjarsari, Solo.

“Bapak saat ini sedang melakukan pemulihan dari alergi kulit. Pascapulang dari Vatikan,” ujar Kompol Syarif.
(“Jokowi Kena Alergi Kulit Sejak dari Vatikan, Ajudan Bantah Berobat ke LN” — Detik.com)

Namun, sebagaimana umumnya dunia digital yang sensasional, kabar mengenai kondisi kesehatan Jokowi ini segera berkembang menjadi pembohong di media sosial. Berbagai spekulasi dan rumor pun bermunculan, termasuk tudingan bahwa ia mengidap Sindrom Stevens-Johnson (SJS), hingga hoaks ekstrem yang menyebutkan bahwa Jokowi mengidap penyakit kusta. Ini jelas merupakan bentuk penyebaran informasi yang tidak hanya melanggar etika, tetapi juga menyentuh sisi kemanusiaan dan martabat seseorang.

Oleh karena itu, kiranya pihak penting keluarga inti Jokowi—terutama Gibran Rakabuming Raka atau Kaesang Pangarep—ikut memberikan klarifikasi langsung kepada publik. Alternatif lainnya, Humas Danantara atau tim medis yang menangani beliau, baik dari pihak swasta maupun Kementerian Kesehatan, perlu memberikan pernyataan resmi. Hal ini diperlukan untuk mencegah semakin luasnya spekulasi dan fitnah yang berkembang tanpa kendali di ruang publik.

Selain untuk menjaga nama baik tokoh nasional yang pernah menjabat sebagai Presiden RI selama dua periode, klarifikasi ini juga penting karena Jokowi saat ini memegang posisi publik strategis dalam program nasional danantara di bawah pemerintahan Presiden ke-8, Prabowo Subianto.

Dari sudut pandang kesehatan masyarakat, transparansi ini juga penting. Bila penyakit yang diderita Jokowi memang berpotensi menular atau membahayakan orang lain, maka protokol kesehatan seperti pengamanan atau interaksi interaksi seharusnya diberlakukan. Mengingat gaya komunikasi dan kebiasaan Jokowi yang dikenal akrab dan terbuka dengan masyarakat, hal ini menjadi semakin mendesak untuk diperhatikan.

Tak hanya isu kesehatan, Jokowi juga tengah diterpa berbagai rumor lain yang merugikan. Mulai dari tudingan penggunaan ijazah palsu, keterlibatan keterlibatan dalam kios kebakaran di Pasar Pramuka Matraman, hingga dugaan kepemilikan kapal pengangkut hasil tambang nikel di Raja Ampat. Meski dalam kasus terakhir tersebut Jokowi telah membantah keterlibatannya, sebagian masyarakat masih skeptis dan menyebut pernyataannya tidak jujur, mencerminkan krisis kepercayaan terhadap dirinya.

Kondisi ini menunjukkan bahwa informasi mengenai tokoh masyarakat, khususnya yang pernah memegang kekuasaan besar, harus dikelola secara profesional dan bertanggung jawab. Pemerintah, media, serta masyarakat sipil perlu membedakan antara hak publik atas informasi dan etika dalam menyebarkan isu-isu pribadi, terutama yang menyangkut kesehatan dan kehormatan seseorang.

Jangan sampai kebebasan informasi justru menjadi senjata untuk mencabik-cabik martabat kemanusiaan. Kita butuh keadaban dalam demokrasi.