Gejolak Timur Tengah: Minyak Diprediksi Tembus US$130 Setelah Serangan AS
Ilustrasi.(Poto/net).
Jakarta, Satuju.com - Serangan ke tiga fasilitas peluncuran Iran diluncurkan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Keterlibatan AS dalam perang Iran vs Israel ini membuat investor bersiap menghadapi penyiaran harga minyak.
"Saya pikir akan membuat pasar. Ini akan meningkatkan isolasi dan volatilitas terutama harga minyak," kata Kepala Investasi di Potomac River Capital, Mark Spindel dikutip dari The Straits Times, Minggu (22/6/2025).
Selain itu, ketegangan baru ini akan menyebabkan risiko terhadap kenaikan inflasi. Kenaikan inflasi dapat mengurangi kepercayaan konsumen dan mengurangi kemungkinan penurunan suku bunga jangka pendek.
“Ini menambah lapisan risiko baru yang rumit yang harus kita perhatikan dan perhatikan. Ini pasti akan berdampak pada harga energi dan berpotensi juga pada inflasi,” ucap Kepala Investasi Cresset Capital Jack Ablin.
Harga minyak mentah Brent acuan global telah naik 18% sejak 10 Juni 2025, mencapai level tertinggi hampir lima bulan di US$ 79,04 pada 19 Juni 2025. Dalam kasus yang paling parah, harga minyak global diperkirakan bisa melonjak hingga sekitar US$ 130 per barel, mendorong inflasi AS mendekati 6% pada akhir tahun ini.
“Meskipun volatilitas harga pasti akan meningkatkan belanja konsumen karena berdampak pada pendapatan riil, skala kenaikan inflasi dan kekhawatiran tentang potensi dampak inflasi putaran kedua kemungkinan akan merusak peluang penurunan suku bunga di AS tahun ini,” kata Oxford dalam catatan tersebut, yang diterbitkan sebelum serangan AS.
Meski demikian, Mitra Pengelola di Harris Financial Group Jamie Cox meramalkan harga minyak kemungkinan akan stabil dalam beberapa hari kemudian karena Iran sedang mencari kesepakatan damai dengan Israel dan AS.
“Dengan kekuatan yang mengesankan dan mengungkapkan total kemampuan nuklirnya, mereka telah kehilangan semua pengaruhnya dan kemungkinan akan menekan tombol pengiriman menuju kesepakatan damai,” kata Cox.

