Pandangan Jujur dan Berimbang, Haidar Alwi: Penguatan Strategi Tambang Rakyat untuk Ekonomi Berkeadilan
R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, merasa terpanggil untuk menyampaikan pandangan jujur dan berimbang tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia.(Poto/ist).
Oleh: R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute
Satuju.com - R. Haidar Alwi, pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, merasa terpanggil untuk menyampaikan pandangan jujur dan berimbang tentang arah pembangunan ekonomi Indonesia yang seharusnya bertumpu pada kekuatan rakyat kecil. Dalam berbagai temuan lapangan dan kajian atas dinamika regulasi sumber daya alam, ia melihat bahwa tambang-tambang kecil yang dikelola masyarakat desa belum mendapatkan tempat yang adil dalam sistem ekonomi nasional.
Salah satu contoh nyata adalah wilayah Sekotong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, daerah yang menyimpan cadangan emas melimpah, namun hingga kini sebagian besar digarap secara manual oleh masyarakat tanpa perlindungan hukum yang memadai. Rakyat sudah memiliki Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), tetapi Izin Pertambangan Rakyat (IPR) tak kunjung turun. Padahal, jika diberi ruang dan legitimasi, tambang rakyat dapat menjadi instrumen kuat dalam mewujudkan cita-cita kemandirian bangsa, memperkuat fondasi ekonomi desa, serta menghidupkan kembali semangat gotong royong yang menjadi warisan budaya Indonesia. “Desa bukan pelengkap kota. Desa adalah pondasi Indonesia. Kalau desa dikuatkan, negara ini tidak akan pernah runtuh oleh krisis apa pun,” ujar Haidar Alwi.
Legalitas Adalah Hak Rakyat, Bukan Hadiah Kekuasaan.
Salah satu hambatan utama tambang rakyat adalah lambannya proses legalisasi. Meski telah ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR), banyak komunitas desa belum mendapatkan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Situasi ini tidak hanya memperlambat aktivitas ekonomi, tetapi juga membuat rakyat hidup dalam ketidakpastian hukum di atas tanahnya sendiri.
Bagi Haidar Alwi, kondisi ini mencerminkan kegagalan negara dalam menjalankan fungsi dasarnya: melindungi rakyat dan memberikan kepastian hukum yang adil. “Kalau rakyat sudah ingin taat hukum tapi justru dipersulit, maka yang rusak bukan rakyatnya, tapi sistemnya,” ungkapnya.
Sebagai solusi konkret, ia mendorong pembentukan Tim Respons Cepat IPR di tingkat provinsi, dengan tenggat waktu maksimal 60 hari kerja sejak penetapan WPR. Tim ini harus bersifat akuntabel, transparan, dan tunduk pada pengawasan publik. Setiap keterlambatan wajib dijelaskan secara hukum dan disampaikan terbuka kepada masyarakat.
Lebih jauh, ia mendesak pemerintah provinsi agar segera menyusun Peraturan Gubernur sebagai turunan dari Kepmen ESDM 174/2024, agar tidak terjadi kekosongan hukum di lapangan. Regulasi ini harus disusun kolaboratif bersama akademisi, koperasi rakyat, dan tokoh masyarakat lokal untuk memastikan keadilan substantif.
Bersihkan Jalur dari Oknum, Kembalikan Hasil untuk Desa.
Proses legalisasi tambang rakyat tidak lepas dari persoalan oknum dan praktek rente. Banyak keluhan dari masyarakat desa tentang pungutan liar, birokrasi yang berbelit, hingga dominasi kelompok tertentu dalam pengurusan izin. Hal ini, menurut Haidar Alwi, mencederai semangat keadilan sosial dan menjadi salah satu bentuk penjajahan struktural yang terjadi di dalam sistem sendiri.
“Kita sering bicara soal ancaman luar, padahal di dalam sistem kita ada birokrasi yang menindas rakyat dengan diam-diam,” katanya. Ia menambahkan, “Negara harus hadir bukan hanya untuk mengatur, tapi untuk memihak rakyat yang menggali tanahnya dengan keringat sendiri.”
Ia mengusulkan sistem pengawasan berbasis masyarakat dan transparansi digital untuk setiap proses WPR-IPR. Dengan melibatkan tokoh adat, akademisi, dan media lokal, proses legalisasi dapat diawasi dari bawah. Transparansi dokumen, waktu, dan biaya mutlak diperlukan agar sistem tidak lagi menjadi ladang rente.
Haidar Alwi juga menekankan bahwa hasil tambang rakyat harus kembali ke desa. Ia memperkenalkan skema “Dana Kembali ke Desa”, yaitu 30% dari pendapatan pajak dan retribusi tambang rakyat dikembalikan dalam bentuk pembangunan fisik, layanan dasar, dan modal usaha lokal. “Kalau emasnya digali dari desa, hasilnya jangan cuma mampir di pusat. Harus kembali jadi jalan, air bersih, dan sekolah untuk anak-anak mereka,” jelas Haidar Alwi.
Desa Mandiri, Negara Berdaulat.
Visi besar yang ditawarkan Haidar Alwi bukan sekadar mengurus tambang, tetapi membangun ekosistem kemandirian desa sebagai pilar negara. Ia menggagas Desa Ekonomi Terpadu, yaitu satu model kawasan desa yang menyatukan koperasi tambang legal, pasar lokal, koperasi simpan pinjam, dan UMKM pengolahan.
Dalam pendekatan ini, tambang rakyat tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi lokomotif penggerak seluruh aktivitas ekonomi desa. Ia menolak pandangan bahwa desa harus disubsidi selamanya. “Desa bukan beban. Desa adalah sumber daya utama bangsa ini. Kalau diberi alat, desa bisa bangkit tanpa harus menunggu program dari pusat,” ujar Haidar Alwi.
Untuk memperkuat kesadaran nasional, Haidar Alwi mengajak semua elemen bangsa mendukung kampanye publik bertajuk “Emas untuk Rakyat, Demi Keadilan Sosial.” Kampanye ini bukan sekadar seruan politik, tetapi ajakan moral untuk menempatkan rakyat sebagai subjek pengelola sumber daya yang sah dan bermartabat.
“Emas bukan hanya soal mineral. Emas adalah ujian bangsa ini: apakah kita berpihak pada rakyat, atau membiarkan sistem terus dikuasai segelintir tangan kuat,” ucap haidar Alwi.
Nasionalisme yang Membumi dari Tanah Sendiri.
Bagi Haidar Alwi, keberpihakan pada tambang rakyat bukan hanya urusan teknis, melainkan bagian dari perjuangan menegakkan Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945 dalam makna yang paling konkret. Ia percaya bahwa kebangkitan Indonesia tidak akan datang dari proyek-proyek prestisius di kota besar, tetapi dari desa-desa kecil yang dibangun dengan kejujuran dan kekuatan rakyatnya sendiri.
Tambang rakyat bukan sekadar usaha kecil, tetapi fondasi bagi ekonomi berdikari dan keadilan sosial. Jika negara ingin berdiri tegak di masa depan, maka langkah awalnya adalah memihak pada mereka yang paling dekat dengan tanah, bukan mereka yang paling dekat dengan kekuasaan.
“Negara ini tidak akan kokoh kalau rakyat desa terus dipaksa menambang dalam ketakutan. Keadilan harus dimulai dari tanah mereka, dari keringat mereka, dari keluarga mereka,” pungkas Haidar Alwi.

