Putusan N.O dalam Gugatan Ijazah Jokowi: Kekeliruan Yuridis dan Pembangkangan Moral Haki
Ilustrasi.(Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Beberapa Terhadap Gugatan diantaranya Gugatan TPUA PN. Jakarta Pusat dan Gugatan Dr. M. Taufik yang baru beberapa hari diputuskan oleh PN. Surakarta (Solo) dengan vonis NO (Niet Onvantlkelijkverklaard) ditolak dengan menyatakan Pengadilan Negeri Tidak Berwenang adalah "omong kosong", sehingga paling sedikit melanggar beberapa asas dan teori hukum, diantaranya;
1. Asas Curia Novit, bahwa hakim dianggap 'serba tahu', sehingga otomatis melanggar Asas Kekuasaan Kehakiman (UU. Nomor 48 Tahun 2009. Karena hakim justru sejak lama (UU. Nomor 14 Tahun 1970 Pokok Pokok Kekuasaan Kehakiman) sudah diminta berlaku progresif dalam fungsinya praktiknya "dalam menemukan hukum";
2. Asas Notoire Feiten Notorius, hakim halal menggunakan pengetahuan umum seseorang yang yanh diketahui secara umum berlaku, suka melakukan perilaku amoral (perbuatan melawan hukum atau anomali perilaku) sikap bad attitude (pemimpin yang tidak role model atau mala probihita), big question, berapa kali Jokowi berbohong? Maka Hakim dapat memutus (terlebih eksistensi segudang bukti!) dengan atau berdasar NALURI HAKIM atau keyakinannya (conviction intime), tidak melulu harus beralaskan asas legalitas (conviction in raisonee);
3. Teori mala in se, sebuah kejahatan adalah sampai kapan pun tetap merupakan kejahatan karena melanggar adab moralitas. Serta prinsip hukum tanpa moral adalah sia-sia belaka. Dan segala bentuk sejarah adanya larangan terhadap sesuatu perbuatan adalah berawal dari pelanggaran kejahatan moral (common law) atau pelanggaran moral adalah kejahatan yang tertua dimuka bumi bahkan kejahatan dilangit, vide, tragedi Adam and Eva;
4. Melanggar asas Contante Justitie atau Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan. Asas ini bertujuan agar proses pemeriksaan dan penyelesaian perkara di pengadilan dilakukan secara efisien dan efektif, dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.
Logikanya, bagaimana menjustifikasi pola dan perilaku hakim dengan 'kategori' extra ordinary crime karena dilakukan oleh fungsional Hakim, yang justru realitas disfungsional karena terkesan kuat melempar tanggungjawabnya kesana kemari, nihil konsekuensi, inkonsistensi penerapan hukum dalam konteks mengacu teori Curia Novit, yang terdapat dalam sistim hukum UU.RI No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Asas constante juga menjadi landasan dalam berbagai upaya reformasi peradilan untuk meningkatkan akses keadilan bagi seluruh masyarakat.
Serta sejarah hukum membuktikan bahwa lembaga (peradilan) Pengadilan Negeri pernah beberapa kali, memutus dan menghukum pelaku pengguna ijazah palsu, diantaranya Pengadilan Negeri Surabaya, Pengadilan Negeri Pekanbaru dan juga PTUN Medan (Sumut).
Maka data empirik ini menjadi barometer terjadinya praktik ilegal, adanya oknum oknum hakim yang telah melakukan "KIBUL" karena sarat kebohongan publik atau sejatinya sebagai disobedient (praktik pembangkangan terhadap sistem hukum dan faktor khianat terhadap hakekat hukum yang tertinggi yakni keadilan untuk keselamatan masyarakat (salus populi suprema lex esto), dan faktanya mutatis mutandis kerdilkan kandungan Teori Filosofi Pancasila, UUD 1945 dan terlebih unsur moralis (agamis).
Lalu hukum dan Indonesia quo vadis?
Dan jika dari perspektif dan logika hukum, maka perilaku hakim pada PN Jakpus dan PN. Surakarta adalah praktik mala in se, sampai kapan pun para oknum hakim yang bersepakat tidak patuh maksudnya yang memvonis kasus gugatan ijazah Jokowi NO merupakan sebuah kejahatan. Sebaliknya prinsip pelaku kejahatan adalah wajar mendapat sanksi hukum atau dikenakan sanksi moral. Kapan? Kita tunggu walaupun tak sempat melihat, karena nyawa dan jasad sudah berkalang tanah.
Penulis:
- Anggota Dewan Penasihat DPP. KAI 2025-2030 (Eks Sekretaris DK selama 3 periode DPP KAI)
- KabidHum dan Ham DPP KWRI
- Ketua Aliansi Anak Bangsa & Ketua KORLABI
- Pakar Ilmu Hukum "Peran Serta Masyarakat dan Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum"

