Krisis Air pada 2050 Diwanti-wanti Retno Marsudi

Retno Marsudi

Jakarta, Satuju.com - Krisis udara yang akan mengancam dunia pada tahun 2050 mendatang diwanti-wanti utusan Khusus Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Bidang Air Retno Marsudi.

“Sangat disayangkan dunia saat ini sedang menghadapi krisis udara. Dan 1 dari 4 orang di dunia menghadapi kekeringan atau kekurangan udara, 1 dari 4,” katanya dalam Kagama Leaders Forum di Kantor RRI, Jakarta Pusat, Kamis (17/7).

"Pada tahun 2050 nanti, perkiraan para saintis mengatakan bahwa kekeringan yang diperkirakan akan berdampak terhadap tiga perempat penduduk dunia. Banyak sekali!" mau-mau Retno.

Pada tahun 2050, Retno menegaskan bahwa dunia akan membengkak 10 miliar jiwa. Ini membuat kebutuhan pangan naik 50 persen dan kebutuhan air bersih meningkat 30 persen dari kondisi saat ini.

Ketergantungan pangan terhadap udara, menurut Retno, membuat Indonesia tak lepas dari ancaman krisis tersebut. Ia menyarankan pemerintah segera mengambil tindakan untuk memitigasi potensi dampak negatif itu.

"Penting sebagai negara dengan penduduk 280 juta membangun ketahanan pangan, semua dunia ingin membangun ketahanan pangan. Dan ketahanan pangan tidak dapat terlaksana tanpa kita meng-atdress terlebih dahulu krisis udara dunia. Kita menciptakan ketahanan udara yang dapat mendukung ketahanan pangan," tutur Retno.

“Kebijakan udara dan pangan tidak dapat dipisahkan. Dan udara merupakan kunci dari 4 kebaikan: produksi yang lebih baik, nutrisi yang lebih baik, lingkungan yang lebih baik, dan kehidupan yang lebih baik untuk semua. Dan tidak meninggalkan seorang pun,” sambungnya.

Menurutnya, 72 persen udara di dunia saat ini digunakan untuk urusan pertanian. Retno memperkirakan bahwa 1 kilogram beras memerlukan 2.500 liter udara per tahun dan 1 kilogram jagung menghabiskan 900 liter udara setiap tahunnya.

Ada 3 saran dari mantan Menteri Luar Negeri 2014-2024 itu untuk menjaga ketahanan pangan Indonesia.

Pertama, pendekatan yang seimbang antara udara dan pangan. Ini harus dilakukan dengan percepatan transformasi sistem agrifood sehingga kerja yang dilakukan pemerintah akan lebih efisien dan inklusif.

“Kedua, kita harus menganut prinsip menghasilkan lebih banyak dengan lebih sedikit. Jadi, intinya bagaimana kita bisa menghasilkan hasil pertanian yang lebih tinggi dengan menggunakan udara yang lebih sedikit,” saran Retno.

“Sehingga bagi Pak Mentan (Amran Sulaiman) pada saat berbicara mengenai pangan, maka pendekatan responsif terhadap air memang tidak mau harus diletakkan di jantung sistem pertanian pangan. Itu memang tidak bisa diingkari dan sebuah kemauan politik sangat diperlukan, koordinasi lintas sektoral, koherensi kebijakan di semua tingkatan, dan sebagainya,” imbuhnya.

Ketiga, basis data dan informasi yang kuat agar pemerintah dapat mengambil keputusan di sektor udara serta pangan dengan tepat. Retno menyarankan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam mendukung hal ini.