Janji Utama Presiden Terpilih Prabowo Subianto Disorot: Demokrasi Butuh Ruang Diskusi

Ilustrasi Program makan siang gratis.(Poto/net).

Satuju.com - Janji makan siang gratis yang digaungkan Presiden terpilih Prabowo Subianto dalam Pemilu 2024 menjadi simbol harapan. Bagi sebagian kalangan ini adalah langkah-langkah monumental dalam meningkatkan gizi anak dan mengurangi kesenjangan sosial. 

Namun sebagian lainnya, program ini menimbulkan pertanyaan serius: apakah janji tersebut realistis atau hanya sekedar strategi populisme elektoral? Pertanyaan ini penting, karena dalam masyarakat demokratis, kebijakan bukan hanya masalah teknis atau logistik, tetapi mencakup cara negara memosisikan rakyat: sebagai subjek aktif kebijakan, atau sekadar objek dari narasi kekuasaan.

Dalam kerangka populisme kesejahteraan, janji makan siang gratis berfungsi sebagai bentuk redistribusi ekonomi yang dibungkus dengan narasi kepedulian. Namun sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Bourdieu dalam The Logic of Practice, simbol kekuasaan sering kali menciptakan illusio yaitu ilusi bahwa tindakan yang dilakukan memiliki manfaat nyata, padahal secara struktural lebih banyak berfungsi memperkuat legitimasi elite politik.
Makan siang gratis bisa menjadi alat simbolik, bukan solusi struktural.

Jika realisasi program ini tidak sesuai dengan sistem anggaran, distribusi, dan akuntabilitas yang kuat, maka janji ini akan berhenti pada citra bukan pada perubahan sosial yang nyata.

Rasionalitas Instrumental dalam Politik Elektoral. Di sisi lain, Jurgen Habermas melalui The Theory of Communicative Action mengingatkan kita akan pentingnya membedakan antara rasionalitas komunikatif dan rasionalitas instrumental. Janji makan siang gratis tampaknya lebih didorong oleh rasionalitas keputusan instrumental politik yang berorientasi pada hasil pemilu, bukan hasil musyawarah bersama warga negara.

Dalam konteks ini, publik bukan diajak berdiskusi, melainkan hanya sekedar janji menerima satu arah dari elite politik. Demokrasi akhirnya kehilangan esensinya sebagai ruang diskursus. Maka, yang kita butuhkan bukan hanya makan siang, tapi ruang publik yang sehat, tempat warga ikut menyiapkan apa yang dimakan dan mengapa itu penting.

Kekuasaan Tubuh dan Disiplin Sosial Lebih jauh, program ini dapat dibaca melalui lensa biopolitik Michel Foucault. Negara modern tidak lagi sekedar menindas, tetapi juga mengatur dan membentuk kehidupan.

Dalam Discipline and Punish, Foucault menunjukkan bahwa kekuasaan modern bekerja melalui mekanisme pengaturan tubuh secara halus dan sistematis. Makan siang gratis, jika tidak disertai pelibatan partisipatif masyarakat, bisa menjelma sebagai alat kontrol sosial yang terselubung. Negara menentukan apa yang layak dikonsumsi, kapan waktunya, dan siapa yang menyediakannya. Di balik wajah “peduli”, bisa tersembunyi logika penguasaan.

Jalan Keluar: Kebijakan Partisipatif dan Transparan Agar janji makan siang gratis tidak berubah menjadi jebakan politik, ada beberapa prinsip yang harus ditegakkan.
Pertama, transparansi anggaran dan tahapan pelaksanaan. Pemerintah perlu menerbitkan sumber dana, peta pelaksanaan, serta konsekuensi terhadap sektor lain dalam APBN.

Kedua, desain partisipatif dan kontekstual. Setiap daerah memiliki karakteristiknya sendiri, termasuk budaya makan, infrastruktur sekolah, dan aktor lokal. Pendekatan top-down tidak cukup. Diperlukan pelibatan aktif dari sekolah, orang tua, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat sipil.

Ketiga, pengawasan independen dan audit sosial. Tanpa pengawasan publik, program berskala nasional sangat rawan penyimpangan. Media, sejarawan, dan masyarakat perlu dilibatkan sebagai pengawas yang aktif.

Keempat, integrasi melalui edukasi gizi dan ketahanan pangan lokal. Program ini dapat menjadi sarana membangun kesadaran gizi sejak dini dan mendorong sekolah memproduksi pangan mandiri melalui kebun sekolah dan kerja sama dengan UMKM lokal.

Makan siang gratis dapat menjadi lompatan besar dalam kebijakan sosial Indonesia. Namun hal itu hanya mungkin terjadi jika rakyat ditempatkan sebagai subjek kebijakan, bukan objek proyek politik. Kita tidak membutuhkan hadiah dari elite, tapi hak yang dijamin negara.
Jika dirancang secara demokratis, transparan, dan partisipatif, program ini bisa menjadi simbol hadirnya negara yang benar negara yang tidak hanya menyuapi, tapi juga mendidik dan memberdayakan rakyatnya.

Sumber: Marwan Hadi adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI dan Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta. Minggu (20/7/2025).