Dari Ide ke Identitas Visual: Komodifikasi Politik di Era Media Sosial
Ilustrasi komunikasi politik melalui media sosial.(Poto/net).
Satuju.com - Pergeseran cara komunikasi politik melalui media sosial semakin menguat di tengah persiapan Pemilu 2024. Media sosial kini menjadi arena baru di mana citra politik lebih banyak dijual daripada substansi kebijakan yang diusung oleh calon pemimpin.
Fenomena ini, yang dikenal dengan komodifikasi politik, menunjukkan bagaimana politik berubah menjadi produk yang dipasarkan di platform digital, lebih mengutamakan narasi visual dan emosional daripada diskusi kebijakan yang mendalam.
Dalam era digital ini, citra politik menjadi salah satu elemen utama dalam memenangkan hati pemilih.
Kampanye politik yang menggunakan media sosial tidak hanya bergantung pada penyampaian pesan kebijakan, tetapi juga pada bagaimana citra kandidat dikemas dengan apik untuk menarik perhatian audiens. Seringkali, video pendek, meme, dan narasi dramatis menjadi cara utama untuk menyampaikan pesan politik.
Proses ini sangat bergantung pada algoritma media sosial yang memprioritaskan konten yang viral, menarik perhatian, dan mudah dibagikan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Robert McChesney, seorang ahli media dan komunikasi, “Media bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga mesin untuk memproduksi citra yang dapat diperdagangkan.”
Dalam konteks ini, media sosial bukan lagi sekadar saluran komunikasi politik, melainkan juga pasar di mana kandidat berlomba-lomba menjual citra mereka, kadang mengesampingkan substansi yang sebenarnya lebih penting.
Teori Agenda Setting yang dikemukakan oleh McCombs dan Shaw (1972) menjelaskan bagaimana media memiliki kekuatan untuk menentukan isu yang dianggap penting oleh publik. Pada era media sosial ini, hal ini semakin diperkuat, Isu yang dibahas di media sosial sering kali tidak muncul karena substansi yang kuat, tetapi karena cara penyampaiannya yang efektif dan menggugah.
Ketika sebuah isu mendapat perhatian di platform seperti Twitter atau TikTok, ia bisa langsung menjadi viral, meskipun tidak selalu dibarengi dengan informasi yang cukup mendalam atau valid. Fenomena ini, pada akhirnya, memengaruhi preferensi pemilih yang lebih banyak mengandalkan persepsi yang dibentuk oleh citra, bukan informasi kebijakan yang lebih kritis.
Komodifikasi politik melalui media sosial berisiko merusak kualitas demokrasi. Pemilih, terutama generasi muda yang sangat terpapar pada informasi digital, sering kali lebih terfokus pada siapa yang memiliki citra terbaik atau yang paling populer di media sosial. Ini mengarah pada ketidakseimbangan dalam memilih kandidat berdasarkan popularitas, bukan berdasarkan substansi kebijakan yang mereka tawarkan.
Dalam banyak kasus, citra yang dibangun di media sosial menjadi lebih dominan dibandingkan dengan informasi substansial yang diperlukan untuk membuat keputusan politik yang informasional. David Held, seorang ilmuwan politik, mengingatkan kita bahwa, “Di era digital ini, politik lebih sering menjadi ajang penjualan citra, bukan diskusi tentang kebijakan atau ideologi yang berkelanjutan.”
Pernyataan ini sangat relevan mengingat kecenderungan saat ini di mana politik banyak didorong oleh citra yang kuat dan narasi yang emosional. Citra ini sering kali lebih mudah dikonsumsi publik, tetapi sering kali mengaburkan isu-isu politik yang lebih kompleks dan mendalam.
Namun demikian, bukan berarti media sosial sepenuhnya berperan negatif dalam politik. Media sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk lebih terlibat dalam proses politik, memperluas jangkauan informasi, dan memberikan suara kepada berbagai kelompok yang sebelumnya terpinggirkan.
Tetapi, seperti yang disarankan oleh para ahli media, kita sebagai pemilih perlu lebih kritis dalam memilih informasi yang kita konsumsi. Politik seharusnya tidak hanya soal siapa yang paling viral, tetapi lebih kepada siapa yang memiliki kebijakan yang mampu membawa perubahan positif bagi masyarakat.
Komodifikasi politik di media sosial merupakan fenomena yang perlu kita sikapi dengan bijak.
Meskipun media sosial mempermudah kita untuk mengakses informasi dan memperkenalkan kandidat secara lebih luas, kita harus tetap fokus pada substansi kebijakan yang ditawarkan, bukan hanya pada citra yang dibangun.
Dalam menghadapi Pemilu 2024, sebagai pemilih yang cerdas, kita harus memiliki kesadaran kritis untuk memilih berdasarkan kebijakan yang jelas dan berdampak positif, bukan sekadar citra yang sementara.
Demokrasi yang sehat bergantung pada pemilih yang teredukasi dan memiliki pemahaman mendalam tentang kebijakan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka.
Sumber: Marwan Hadi adalah Tenaga Ahli Anggota DPR RI dan Mahasiswa Doktor Ilmu Komunikasi di Universitas Sahid Jakarta.

