Ijazah Palsu, Aktivis Dipenjara: Ketika Hukum dan HAM Bertolak Belakang

Ilustrasi.(Poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Untuk Harsubeno yang pada podcast (referensi video) menanyakan kepada Chris Komar Ketua FDI (Forum Diaspora Indonesia), "kenapa persolan Ijazah Jokowi dibawa ke lembaga HAM internasional yang bermarkas di PBB atau Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR). Selain itu juga mungkin melaporkan kepada organisasi non-pemerintah (LSM) seperti Amnesty International dan Human Rights Watch?

Jawabnya, "andai" ijazah palsu ini terbukti, tentu substansial dalam praktik kepresidenannya, Jokowi "menipu" para kepala negara di dunia yang pernah duduk bersama dalam momentum perhelatan internasional dengan beberapa kepala negara? Sehingga logika pemikirana hukumnya Jokowi potensial dan proporsional diseret ke dunia hukum pidana internasional melalui pintu masuk praktik kriminilisasi kepada para aktivisme yang berupaya mengungkap kejahatan dugaan ijazah palsunya namun melakukan proses antitesis hukumnya, karena menimbulkan gejala gejala penjarakan para aktivis, ini jelas merupakan kejahatan HAM.

Pengamat yang juga sebagai anggota TPUA non struktural, wala tidak ikut serta dalam program advokasi FDI tetap berterima kasih kepada rekan aktivis aktivis diaspora Chris Komar selaku Ketua FDi dan seluruh civitas FDI yang kenyataannya membantu sukarela kepada Prof Dr. H. Eggi Sudjana, SH., MSI dengan mengerahkan para diaspora yang berasal dari negara indonesia dan dikabarkan telah menggugah simpati para aktivis dari belahan multi negara internasional.

Dan khususnya Kami TPUA yang patuhi dan menaruh rasa hormat setinggi-tingginya kepada Dr. Habib Rizieq Shihab, mewakili Beliau dan Para Ulama Pengikutnya, tulus mengucapkan apresiasi kepada Kapolri dan Polri melalui Pihak Penyidik Polda Metro Jaya yang diinfokan telah melakukan penyitaan (diantaranya) terhadap barang bukti Ijazah S-1 Jokowi yang menjadi pokok permasalahan seluruh anak bangsa, karena perilaku pengguna ijazah palsu oleh Presiden RI patut dianggap telah memporak-porandakan agenda negara dan moralitas Negara Republik Indonesia / NRI pada semua sektoral, serta pastinya telah menginjak injak semua nilai keberlakuan sistematika hukum ditanah air, selain meremehkan makna sebuah bangsa dan NRI sekaligus mengkerdilkan moralitas dan hak konstitusional seluruh (lapisan) anak bangsa ini, mutatis mutandis merendahkan nilai eksistensi lembaga lembaga negara yang ada di RI termasuk menghinakan Para Pejabat Petinggi dibawah lembaga Kepresidenan RI saat Jokowi memimpin, yang terus berdampak negatif dan kental terasa berkelanjutan walau suksesi kepemimpinan nasional di tanah air dari era kekuasaan Jokowi sudah beralih.

Wabil khusus, terkait sita ijazah S 1 Jokowi sebagai proses awal melakukan uji forensik terhadap Ijazah yang di klaim asli oleh Jokowi, namun diduga palsu oleh sebagian publik atau para aktivis dan beberapa kaum intelektual, oleh karenanya bangsa ini absolut mesti ucapkan terima kasih kepada Bapak Presiden RI ke 8 Jend. Purn TNI Prabowo Subianto, karena secara hirarkis kelembagaan menurut hukum ketatanegaraan baik struktural dan fungsional Presiden RI pemimpin dan panglima  tertinggi yang bertanggung jawab kepada Polri selain pemilik hak prerogatif (mengangkat dan memberhentikan Kapolri), juga memiliki hak kontrol penuh dengan pola intervensi, dalam wujud kapasitas untuk memerintah, melarang atau bahkan Presiden berhak melakukan pembiaran merujuk Asas 'Mandiri' bebas dari intervensi dan atau ketidakberpihakan Polri atau Kapolri, dengan catatan 'jika' menurut analisa hukum Presiden Prabowo: " bahwa pelaksanaan tugas (Polri) memang riil atau berkesesuaian dengan prinsip fungsi tugasnya Polri.

Penulis yang juga sebagai subjek hukum dari 12 orang Terlapor, entah gegara ikut bersilaturahim dan diterima langsung 16 April 2025 dihadapan Jokowi (Damai Hari Lubis, Rizal Fadillah dan Kurnia Tri Royani) atau apakah sebenarnya Jokowi 'terpaksa' menerima silaturahim tersebut?  Karena silaturahim dibarengi kebutuhan klarifikasi dan konfirmasi (investigasi) atau adanya dugaan terhadap originalitas materil ijazah UGM (asli lulus sesuai program akademik) walau Jokowi nyatakan asli ? Sampai sampai dirinya melaporkan ujar kebencian, hasut dan fitnah ke Reskrimum Polda Metro Jaya begitu juga laporan hukum datang dari pecintanya 'Jokowi lovers' sehingga Terlapor yang jumlah awalnya ada 8 Orang, namun akibat "pengembangan oleh Penyelidik" menjadi total 12 orang.

Secara yuridis pasal ujar kebencian, akibat hasut dan fitnah ini akan diterima oleh 12 orang Terlapor dengan ikhlas dan otomatis menutup kecurigaan ijazah palsu oleh puluhan juta publik lainnya, termasuk dari milyaran pasang mata di dunia dan para pasangan mata kepala negara yang pernah duduk berdampingan dengan Jokowi di kancah dunia internasional, maupun para kepala negara yang memiliki hubungam diplomatik dengan negara Indonesia, asal kan dengan catatan hukum, "Penyidik tidak menolak ilmu teknologi (mutakhir) tuntutaj dunia iptek modern, yang seharusnya berpacu dan terus dipacu, sehingga Penyidik justru pihak yang diwajibkan menuntut uji forensik digital untuk membuktikan keaslian nya melalui bukti riset tekhnologi (laboratorium forensik digital) dari  para pakar forensik digital (pakar pakar  IT ) dan ahli bahasa, pada tiap tingkatan proses hukum harus bersesuaian dengan norma hukum yang berlaku (hukum positif) dan selain logis, jika Penyidik yang utama ditugaskan menemukan Kebenaran Materil atau mencari kebenaran sesungguhnya kebenaran (materiele waarheid), justru Penyidik tidak obstruksi (faktor penghalang) supaya tehnik modern tidak digunakan agar kebenaran materil tidak ditemukan?  Terlebih andai Penyidik menolak atau manfikan Uji Lab Digital Forensik maka aneh dan anonali jika Penyidik berusaha menghukum kedua belas orang yang dikaitkan dengan alat tekhnolgi Jo. UU. ITE ? Serius ini praktik proses hukum (law behavior) yang tragis dan amat menyedihkan bahkan dus sungguh memalukan"

Amat memalukan jika laboratorium forensik digital ditolak, menolak perangkat IT (alat tekhnik canggih- modern). Selain penggunaan dibutuhkan dari sisi kacamata hukum, juga menghindari perspektif negatif publik yang bakal menuduh Penyidik memang bertujuan agar Para Terlapor harus dihukum dan Jokowi Ijazahnya harus diputus oleh hukum adalah Asli? Walau dengan cara machiavelli sekalipun !? 

Alat modern berupa uji lab, bukan sekedar cita cita bangsa dan negara modern, karena a a quo in casu bakal lebih menjamin pencapaian tujuan fungsi hukum yang kualifid, yang berkepastian (rechtmatigheid), bermanfaat (doelmatigheid) dan yang tertinggi adalah berkeadilan (gerechtigheid) bagi semua orang, bukan keadilan spesial untuk Jokowi dan Pecintanya (Jokowi lovers) atau hanya untuk para penegak hukum atau hanya untuk Para Terlapor. 

Keadilan tidak eksklusif, tidak marjinal, tidak privelege melainkan imparsial dan universal, atau dengan kata lain sejatinya penegakan hukum bukan hanya suka-suka.

Faktor keadilan adalah tuntutan HAM bahkan kodratullah, yaitu; berkeadilan, dan keadilan juga merupakan cita cita semua manusia pada seluruh bangsa di dunia termasuk penduduk eskimo, bahkan hak hewani dan nabati serta alam plus semua lingkungan hidup dalam tiap-tiap adanya kehidupan. 

Dan pengetahuan umum bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berpolitik, sehingga  kodratnya suka berpikir (zoon Politicon). Maka jika dihubungkan dengan teori tujuan berdirinya negara RI vide UUD. 1945  yakni "semata demi melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia, lalu jika di juncto kepada Teori Pancasila tentang Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ? Tentu tanpa keadilan rakyat sejahtera adalah absurd bahkan impossible.

Sedangkan sejahtera adalah tuntutan hakekat kehidupan seluruh umat manusia lintas benua, sesuai diktum politik hukum yang berasal dari M.T. Cicero (De Legibus): "salus populi supreme lex esto atau keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi". 

Dalam sisi tinjauan objek perkara a quo, rakyat adalah 12 orang Terlapor dan Penguasa adalah Jokowi yang diduga berijazah palsu, bukan diduga sebagai penguasa yang jujur atau Jokowi bukan tipikal kebalikan dari asas teori hukum notoire feiten notorius (karakteristik yang sepengatahuan umum suka/hobi membohongi rayat) dan tentunya bersebrangan dengan teori OST JUBEDIL (Objektif, Sistematis, Toleran, Jujur, Benar, dan Adil) pola karakter kepemimpinan versi Eggi Sudjana.

Memang Terlapor, calon Tersangka-Terdakwa, hanya berjumlah 12 orang namun sebagai representatif kerugian konstitusi ratusan juta orang? Dibanding kepentingan Jokowi selaku individual dan penguasa, dan bagaimana hubungannya dengan Blackstone's Ratio (William Blackstone) yang merupakan adagium yang dapat dijadikan komparasi hukum dan nurani bagi para penegak hukum, karena analogi filosofisnya adalah "lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum sati orang yang tak bersalah". 

Dan menghukum penjarakan 12 orang anak bangsa yang tak bersalah, bagi bangsa yang individu individunya mayoritas atau umumnya beriman tentu percaya adanya hari persaksian di Mahkamah Akhirat. Entah lah di negeri Pancasila setelah satu dekade-an sengaja dirusak mentalitasnya (2014-2024).

Selebihnya disimpulkan ada dua prinsip hukum yang perlu diunifikasi pemahamannya menjadi sebuah kepastian hukum yakni presumption of innocent dan prinsip "Blackstone's ratio", pemahaman yang menunjukkan pentingnya nurani bahwa kekeliruan menghukum 1 orang yang tidak bersalah dianggap tragedi serius daripada membiarkan 1000 orang yang bersalah lolos dari hukuman.

Sehingga yang terbaik dari semua asas hukum,  diktum dan adagium serta analogi dari filosofi ini diperhatikan oleh Penyidik karena musim akan berganti, hindarkan, tidak menambah kumulasi kekeliruan pada kerusakan moral dan mentalitas kepemimpinan 'kemarin', cuci dan basuh, jangan turut serta melanjutkan sepenggal episode sejarah historis penegakan hukum hitam dari pribadi sosok gelap biografis dan notoire feiten notorius.

*_Justru bijak (wisdom), perkara pidana ini memang harus kelangsungan demi kepastian hukum, manfaat hukum dan rasa keadilan, namun harus due process of law Merujuk ius konstitutum yakni KUHAP sebagai tatanan pola hukum yang wajib dilaksanakan dan diberlakukan, sebelum putusan menjadi inkracht.

Oleh karena itu sebelum vonis inkracht menyatakan ijazah asli, karena pemilik ijazah S-1 UGM in casu dikenal puluhan kali atau hobi berbohong, baik pra dan saat memimpin bahkan pasca presiden (saat ini masih tetap menjadi pejabat publik), Penyidik, JPU dan Majelis Hakim ideal memprioritaskankan prinsip kehati-hatian tidak mengimplementasikan alasan subjektif untuk menahan hingga 12 (kedua belas) aktivisme pecinta kisah pribadi eks presiden yang dikenal secara umum dan disertai data empiris sebagai sosok pembohong (notorius) dan sungguh dalam perkara tuduhan Ijazah Palsu ini Para Penegak Hukum tidak apriori dan karena "sesuatu", namun utamakan perspektif positif obyektif (hukum dan hati nurani) karena kasus berhubungan dengan tanda pola kepemimpinan negatif (kepemimpinan buruk) atau kepemimpinan karakter nir adab dengan lampiran banyak data empiris sehingga sesuai asas notoire feiten notorius. 

Referensi: https://youtu.be/LWx0vtEE9TQ?si=G7ETGiuFZYHEnQi7