LK.Ara Luncurkan Antologi Ke-15: Menjaga Nyala Tradisi Gayo Lewat Puisi

LK.Ara Luncurkan Antologi Ke-15.(Poto/ist/Lasman Simanjuntak).

Jakarta, Satuju.com - Buku antologi puisi ke-15 karya LK.Ara berjudul "Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh" bukan merupakan referensi akademis, melainkan karya sastra bernilai filosofis yang dituangkan dalam bentuk.

“Seperti yang sudah saya sampaikan di awal pembukaan diskusi tadi, mengapa para ulama terdahulu juga menulis ungkapan hati mereka dalam bentuk puisi? ekosistem itulah rahasianya: karena bahasa tertinggi ada dalam puisi,” ujar moderator Fikar W. Eda—jurnalis dan penyair—dalam diskusi yang menghadirkan narasumber Prof. Dr. Wildan, M.Pd. (Rektor ISBI Aceh), dan Miko Pegayon (praktisi Didong Jakarta), dengan membawakan acara Swary Utami Dewi.

Pernyataan itu disampaikan saat penutupan acara peluncuran dan diskusi buku Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh yang mengusung tema “LK.Ara, Maestro Seni Sastra Gayo: Suara dari Anak Gunung”, bertempat di Aula Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB. Jassin, Lantai 4 Gedung Panjang Ali Sadikin, Pusat Kesenian Jakarta (PKJ) Taman Ismail Marzuki, Kamis sore (24/7/2025).

“Seperti yang juga dikatakan Prof. Wildan, semua kalimat dalam puisi-puisi di buku ini penuh dengan metafora yang bisa kita resapi dari hati ke hati,” ujar Fikar. Ia menambahkan bahwa buku ini hanya dicetak sebanyak 50 eksemplar, dengan harapan bisa terus berkembang di masa mendatang.

Sementara itu, Ketua Taman Inspirasi Sastra Indonesia (TISI), Moctavianus Masheka—atau yang akrab disapa Bung Octa—menyebut LK.Ara sebagai penyair tiga zaman: Orde Lama, Orde Baru, dan Orde Reformasi.

Penyair asal Tanah Gayo ini lama bermukim di Jakarta, namun di masa tuanya kembali ke kampung halaman di Aceh. Di usia 88 tahun, LK.Ara tetap produktif menulis dan dinilai layak menyandang gelar Maestro Seni Sastra Gayo.

"Dalam diskusi ini terlihat bahwa roh atau filosofi Gayo benar-benar hidup dalam puisi-puisi LK.Ara. Mempelajarinya berarti menelusuri metafora-metafora dari Tanah Gayo. Sangat menarik," ujar Bung Octa yang juga merupakan penyair dan sastrawan.

Ia menambahkan, TISI merupakan "rumah" bagi para sastrawan—terutama dari luar daerah—untuk memperkenalkan karya mereka lewat peluncuran dan diskusi buku sastra.

"TISI sebelumnya telah menyelenggarakan peluncuran dan diskusi buku antologi puisi dari Syarifuddin Arifin (Padang), Ewith Bahar (Jakarta), dan Endut Ahadiat (Padang). Kini yang keempat, kami gelar untuk karya LK.Ara," jelasnya.

Narasumber lainnya, Miko Pegayon (29), mewakili generasi milenial, adalah praktisi Didong yang kini tinggal di Jakarta.

"Saya bangga dan terharu bisa hadir dalam acara yang dihadiri para seniman besar, budayawan, penyair, dan sastrawan nasional. Saya berharap suatu saat syair dan tarian tradisional Didong dari dataran tinggi Gayo bisa masuk dalam kurikulum ekstrakurikuler sekolah," ujar Miko yang juga mengelola kedai kopi Gayo di kawasan Cipayung, TMII, Jakarta Timur.

Menyalakan Api yang Nyaris Padam
Dalam sambutannya saat peluncuran buku setebal 396 halaman yang diterbitkan oleh Yayasan Mata Air Jernih (cetakan pertama, Juli 2025), LK.Ara menegaskan bahwa buku ini bukan sekadar kenangan, melainkan upaya menyalakan kembali api yang hampir padam.

"Di dalamnya, pembaca akan menjumpai sejarah, tafsir budaya, dan potret para maestro yang membaktikan hidup mereka untuk menjaga suara dan gerak dari Tanah Gayo," ujarnya.

Buku ini juga hadir sebagai bagian dari dokumentasi perjalanan para maestro Didong dan Tari Guel yang tampil dalam acara Panggung Para Maestro di Museum Nasional Jakarta pada 11–12 Juli 2025.

"Sebuah momentum langka ketika suara kampung Gayo menggema di jantung ibu kota. Tradisi bukan beban, melainkan kemuliaan. Buku ini saya persembahkan bagi generasi muda yang mencari akar, bagi penari dan penyair yang menelusuri jejak, serta bagi siapa pun yang percaya bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan kompas untuk pulang," jelasnya.

LK.Ara lahir di Takengon, Aceh, pada 12 November 1937. Ia pernah menjadi redaktur budaya di Harian Mimbar Umum (Medan), bekerja di Sekretariat Negara, dan terakhir di Balai Pustaka (1963–1985). Ia memperkenalkan penyair tradisional Gayo To’et ke berbagai kota besar Indonesia. Sejak menerbitkan antologi puisi pertamanya pada 1969, hingga kini LK.Ara telah melahirkan 63 buku. Pada 2019, ia menerima Anugerah Kebudayaan Maestro Seni Tradisi Didong Gayo dari Pemerintah RI.

Rektor ISBI Aceh, Prof. Dr. Wildan, M.Pd., dalam paparannya menyebut bahwa buku ini menjahit serpihan sejarah, makna, dan nilai menjadi satu karya utuh yang bermanfaat bagi generasi muda, seniman, dan akademisi.

“Lebih dari sekadar dokumentasi, ini adalah bentuk perlawanan terhadap pelupaan,” ujarnya.

Menurutnya, seni tradisi tidak hidup di museum atau panggung besar, melainkan dalam napas manusia yang masih menyebut nama leluhurnya.

“Buku ini bukan sekedar dokumentasi, tapi napas panjang dari peradaban seni yang berdiri kokoh di dataran tinggi. Di dalamnya, kita menemukan cinta di kampung halaman, pada syair tua Didong, dan pada gerak sakral Tari Guel,” tegas Prof. Wildan.

Ia menilai buku ini penting sebagai bahan terbuka, makalah ilmiah, dan ruang apresiasi budaya.

Sementara itu, etnomusikolog Endo Suanda mengaku terhormat memberikan Berbagai untuk buku karya LK.Ara, yang meski sepuh, masih produktif dan semangat berkarya.

“Buku ini merupakan dokumentasi penting dari seni pertunjukan Nusantara: Didong dan Tari Guel. Keduanya adalah mahkota tradisi yang tak hanya menghibur, tapi juga menyimpan filosofi, nilai kolektif, dan kearifan lokal,” katanya.

Penerbitan buku ini dinilainya bukan sekadar pelestarian masa lalu, tetapi juga pewarisan ke masa depan.

“Ia adalah jembatan generasi muda untuk mengenalkan akar budaya dan memperkaya seni pertunjukan kini dan esok,” ujarnya.

Pembacaan Puisi LK.Ara
Acara juga menerjemahkan puisi dari buku Didong dan Tari Guel dari Gayo Aceh, antara lain oleh Prof. Rahmat Salam (Ketua Komite Pelaksana Provinsi Aceh Leuser Antara/KP3ALA), yang dibacakan berjudul "ALA: Suara yang Tak Boleh Padam."

Rahmat mengaku menerima puisi itu langsung dari LK.Ara melalui WhatsApp, sesaat setelah menunaikan salat tahajud.

"Saya baca berulang kali, dan saya menangis membacanya," ungkapnya.

Puisi juga dibacakan oleh Endo Suanda, Moctavianus Masheka, Swary Utami Dewi, Jose Rizal Manua, Putra Gara, dan sejumlah penyair lainnya.

"Tahun 1972 saya sudah mengenal LK.Ara. Beliau sangat aktif dan merupakan tokoh penting yang memperkenalkan karya sastra kepada generasi muda di Jakarta. Beliau juga pelopor Festival Didong sejak 1970-an hingga 1980-an di TIM," kenang Jose Rizal Manua, yang membacakan puisi LK.Ara berjudul “Tanpa Judul.”

Acara ini juga menampilkan para seniman, penyair, dan budayawan, seperti Nanang R. Supriyatin, Pulo Lasman Simanjuntak, Putra Gara, Giyanto Subagio, Wig SM, dan Nuyang Jaimee.