Lahan Pantai Takari Diduga Tanah Negara, Kuasa Hukum Minta MA Putus Berdasarkan Hati Nurani
Lahan Pantai Takari
Bangka, Satuju.com — Perjalanan panjang memperebutkan lahan di kawasan Pantai Takari, Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, kini memasuki babak baru. Sri Dwi Joko (almarhum) melalui ahli warisnya, Rahmat Widodo, resmi mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung Republik Indonesia atas perkara yang telah bergulir tahun 2020. Senin (28/7/2025).
Melalui kuasa hukum Armansyah SS, SH, permohonan PK diajukan ke Pengadilan Negeri Sungailiat pada tanggal 4 Juni 2025. Langkah hukum ini merupakan tanggapan atas putusan Mahkamah Agung RI Nomor: 5058 K/Pdt/2024 tanggal 14 November 2024 yang dinilai tidak sepenuhnya mewakili keadilan substantif, terutama bagi pihak ahli waris Sri Dwi Joko yang merasa telah dizalimi.
"PK ini bukan semata-mata langkah hukum biasa. Ini adalah ikhtiar terakhir untuk mencari keadilan yang sejati. Kami percaya Mahkamah Agung akan memutuskan berdasarkan hati nurani, bukan atas tekanan atau intervensi pihak manapun," tegas Armansyah saat dikonfirmasi.
Dua Novum Kuat Jadi Dasar PK
Dalam memori PK yang diajukan, tim hukum menghadirkan dua novum (bukti baru) yang dinilai cukup kuat untuk mengubah keputusan sebelumnya.
Pertama, lahan yang dikuasai oleh pihak Bu Dewi Hartati terbukti masuk dalam kawasan Pantai Takari, yang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK.3924/MENLHK-PSKL/PSL.0/6/2018 tanggal 7 Juni 2018, ditetapkan sebagai tanah negara. Fakta ini mempertegas bahwa kepemilikan atas lahan tersebut patut dipertanyakan secara hukum.
Kedua, putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Pangkalpinang Nomor: 1/Prapid/2025/PN.Pkp terkait laporan polisi LP/B/89/V/2024 atas nama terlapor Yuli bin Jaharudin (almarhum) memperkuat dugaan adanya pemalsuan dokumen dalam proses jual beli atau klaim lahan. Dugaan ini terkait pasal 263 KUHP tentang pemalsuan tanda tangan dalam dokumen hukum.
Kedua bukti baru ini diyakini menjadi dasar yang cukup kuat bagi Mahkamah Agung untuk meninjau kembali keseluruhan fakta dan keputusan sebelumnya.
Permintaan Pengawasan dari Lembaga Terkait
Menyadari sensitivitas dan kompleksitas perkara ini, kuasa hukum Armansyah secara terbuka meminta perhatian dan pengawasan khusus dari sejumlah lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pengawas Mahkamah Agung, Kejaksaan Agung RI, Kapolri, serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
“Permintaan pengawasan ini bukan bentuk intervensi, tapi untuk memastikan bahwa proses hukum berjalan adil, objektif, dan bebas dari praktik mafia tanah atau aparat yang menyalahgunakan kewenangan. Jangan sampai hukum ditunggangi kepentingan,” ujarnya.
Menurut Armansyah, praktik mafia tanah dalam perkara ini cukup mencolok. Ia menyebutkan bahwa surat tanah yang menjadi dasar klaim tidak terdaftar di Desa Rebo, Kecamatan Sungailiat, padahal secara fisik berada di kawasan Pantai Takari yang merupakan tanah negara.
“Bagaimana mungkin lahan negara bisa disertifikatkan dan disetujui melalui pengadilan tanpa dasar yang sah? Ini yang kami duga ada permainan pihak-pihak tertentu,” tandasnya.
Mencari Keadilan Tegak Lurus dalam Negara Hukum
Ahli waris mendiang Sri Dwi Joko, Rahmat Widodo, menyampaikan harapannya agar Mahkamah Agung RI memberikan putusan yang adil, tidak hanya berdasarkan aspek legalitas, tetapi juga mempertimbangkan moralitas dan nurani hukum.
"Kami bukan orang kaya atau punya kekuasaan. Kami hanya rakyat kecil yang selama ini merasa dizalimi. Kami percaya keadilan masih ada di negeri ini," ujar Rahmat Widodo.
Kuasa hukum Armansyah menambahkan, prinsip hukum “Audi et alteram partem” atau “dengar juga pihak yang lain” harus menjadi landasan utama dalam proses peradilan. Demikian pula prinsip “Ubi jus ibi remedium” yang berarti “di mana ada hak, di situ ada perlindungan hukum.”
“Kami hanya ingin Mahkamah Agung benar-benar mengkaji dan mengoreksi kembali perkara ini. Keputusan yang adil dari MA bukan hanya akan menjadi kemenangan klien kami, tetapi juga kemenangan atas praktik mafia tanah yang selama ini menghantui rakyat kecil,” pungkas Armansyah.
Kini, semua mata tertuju pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. Akankah lembaga tertinggi ini menjawab harapan masyarakat kecil dan menegakkan keadilan seadil-adilnya?.(RF).

