Opini Hukum: Antara Kepastian Hukum, Hak Publik dan Fenomena Pemidanaan Pendapat

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP

Satuju.com - Penguasa yang berulang kali menyampaikan kebohongan kepada rakyat sejatinya bukan hanya mengingkari kepercayaan publik, melainkan juga melanggar etika pemerintahan dan asas dasar moralitas. Dalam konteks hukum, tindakan demikian dapat dikualifikasikan sebagai bentuk kejahatan terhadap hukum dan moral publik, terlebih apabila kebohongan tersebut memiliki dampak luas terhadap kehidupan bernegara.

Merujuk pada teori kausalitas Aristoteles dan teori syarat mutlak Von Bury yang banyak diadopsi dalam unifikasi hukum modern, serta berdasarkan prinsip open government sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, maka setiap warga negara memiliki hak konstitusional untuk menyampaikan pendapat, dugaan, maupun laporan atas suatu peristiwa atau informasi publik.

Penyampaian informasi atau dugaan oleh masyarakat, baik secara individu maupun kelompok, tidak boleh serta-merta dijadikan dasar pemidanaan—selama penyampaiannya dilakukan dalam koridor hukum dan berdasarkan niat untuk berpartisipasi dalam pengawasan jalannya pemerintahan. Justru, hal tersebut merupakan bentuk partisipasi aktif dalam demokrasi, bukan tindak pidana.

Namun, dalam realitas yang sedang berkembang, kita dihadapkan pada fenomena pemidanaan terhadap pelapor publik. Dalam kasus tertentu, pelapor yang mengungkap dugaan adanya dokumen negara yang tidak autentik, seperti ijazah presiden, justru dijerat hukum tanpa adanya ruang pembuktian yang transparan dan setara.

Padahal, jika tuduhan publik tersebut pada akhirnya terbukti benar, maka posisi hukum akan berbalik. Presiden Joko Widodo, maupun pihak-pihak lain yang terlibat dalam dugaan rekayasa atau penyembunyian dokumen negara—baik berupa ijazah, identitas, atau informasi personal lainnya—dapat dikenai pertanggungjawaban hukum. Bahkan, dapat dijatuhi pemberatan hukuman sebagaimana diatur dalam Pasal 52 KUHP, mengingat pelaku merupakan pejabat publik pada saat perbuatan itu terjadi.

Hakim, sebagai representasi dari suara keadilan, sejatinya bertanggung jawab tidak hanya kepada hukum manusia, tetapi juga kepada hati nurani dan sejarah. Dalam setiap putusan, terutama yang menyangkut kepentingan publik luas, mereka disaksikan oleh sejarah, nilai moral, dan keadilan universal.

Apabila para hakim mampu memutus dengan objektivitas, berlandaskan kepastian hukum, dan berpihak pada kebenaran—maka mereka telah menjalankan amanah konstitusionalnya. Misalnya, dengan mengembalikan berkas perkara atau menolak laporan yang berpotensi mengkriminalisasi hak publik, khususnya dalam perkara pelaporan dugaan ijazah palsu yang ditujukan kepada Presiden.

Namun, sangat disayangkan, dalam praktik penegakan hukum kita saat ini, hukum kerap dibalut oleh kekuasaan. Fenomena kriminalisasi pelapor menjadi cermin dari betapa rendahnya keberanian negara dalam menanggapi kritik rakyat.

Lebih buruk lagi, publik kini menyaksikan bagaimana upaya pencarian kebenaran dibalas dengan penindasan. Penguasa yang diduga telah menyampaikan kebohongan berkali-kali, justru menggunakan instrumen hukum untuk mengintimidasi pelapor. Ini merupakan paradoks dalam demokrasi.

Masyarakat kini tidak hanya kecewa, tetapi juga teralienasi. Mereka merasa dicabut haknya untuk berbicara, sementara suara mereka diabaikan oleh sistem yang seharusnya menjadi pelindung. Ini adalah tanda rusaknya ekosistem demokrasi yang sehat.

Maka menjadi penting untuk mengingatkan semua pihak—terutama aparat penegak hukum—bahwa setiap bentuk dugaan pelanggaran oleh pejabat publik harus direspons dengan keterbukaan, bukan represi. Sebab, negara ini bukan milik satu orang atau satu rezim. Ia milik seluruh rakyat, dan dibangun atas dasar kejujuran, keadilan, dan supremasi hukum.

Jika nilai-nilai ini terus dikhianati, maka kehancuran institusional hanyalah soal waktu.

Catatan Penutup:

Mengkriminalisasi rakyat atas dasar dugaan yang rasional dan berlandaskan hak konstitusional merupakan bentuk pengingkaran terhadap demokrasi. Yang lebih penting dari sekadar keabsahan formal, adalah keberanian institusi negara untuk membuktikan kebenaran materiil melalui proses yang adil dan transparan—bukan pembungkaman.