Politik Pengampunan: Jalan Damai untuk Lembong dan Hasto, Lalu Nasib Para Korban Jokowi?
Ilustrasi.(Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum & Politik)
(Abstrak: Nasib Jokowi dan Para Korbannya, Quo Vadis Pasca Presiden ampuni Lembong dan Hasto?)
Satuju.com - Alasan Kalangan Istana Pemberian Abolisi dan Amnesti terhadap Tomas Lembong dan Hasto Kristyanto oleh Presiden RI Prabowo Subianto adalah “Langkah simbolis dan strategi untuk memperkuat harmoni politik nasional".
Terlepas dari alasan politik hukum dari Menteri Supratman Andi Agtas tersebut, bahwa ada jenis hak pengampunan hukum kepada seseorang atau terhadap kelompok orang yang hanya dimiliki oleh Presiden RI. Secara konstitusi disebut sebagai Amnesti, Abolisi, Rehabilitasi dan Grasi. Ke empat jenis Pengampunan oleh Presiden RI ini didasari sistim hukum positif yang berlaku mengikat, yaitu:
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang RI/UU. Darurat Nomor 11 Tahun 1954 Tentang Amnesti dan Abolisi;
3.UU. Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana;
4.UU. Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi;
5.UU. No. 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan atas UU. Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
6. Catatan Hukum Penulis; KHUSUS TERHADAP HASTO KRISTIYANTO SELAIN AMNESTI DIPEROLEH KARENA HAK KONSTITUSIONAL SEORANG PRESIDEN, juga akses amnesti yang diberlakukan dari standar hukum acara (KUHAP) yang transparansinya dilanggar oleh KPK
Hal penerapan hukum oleh KPK telah lama dan seksama diamati oleh penulis yang dituangkan melalui banyak artikel. Sehingga perspektif hukumnya, amnesti juga erat hubungan hukumnya dengan vide Putusan Mahkamah Konstitusi/ MK Nomor 21/PUU-XII/2014 yang prinsip isi putusan MK berhubungan dengan praktik tahapan saat penyidikan terhadap Hasto oleh KPK sampai dengan pra peradilan dan proses persidangan objek perkara terkait tuduhan gratifikasi dan obstruksi hukum tidak sesuai atau melanggar prinsip KUHAP.
Terhadap hak dan kewenangan presiden terkait kesemua jenis pengampunan, harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) atau Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) sebagaimana diatur dalam Pasal 14 UUD 1945.
Abolisi yang didapatkan oleh Tomas Lembong dan Amnesti kepada Hasto Kristiyanto merupakan konsekuensi yudisial dari yang termaktub didalam UUD. 1945 yang berhubungan dengan diskresi Presiden RI sebagai bentuk keputusan politik kekuasaan eksekutif dan legislatif untuk melepaskan tanggung jawab pidana seseorang dengan cara menghentikan proses hukum dan pelaksanaan vonis atau pengampunan atau pembebasan dari pelaksanaan kelanjutan proses hukum yang sedang berjalan atau pembatalan eksekusi putusan (walau) telah inkracht.
Contoh saat ini; Lembong dan Hasto mendapatkan Pengampunan, walau proses hukum belum berkepastian, karena masih dalam proses banding, sehingga belum mengikat (inkracht).
Oleh karenanya dengan diberikannya abolisi dan amnesti, maka semua proses hukum pidana terhadap Lembong dan Hasto harus stagnasi, Lembong dan Hasto tidak akan menjalani proses hukum pada tingkat pengadilan tinggi dan atau kasasi, demi ketentuan dan pelaksanaan perintah hukum atas dasar abolisi dan amnesti, Lembong dan Hasto harus dibebaskan dari segala sanksi pidana terkait khusus perkara a quo yang mendapat amnesti.
Selain oleh sebab diskresi pengampunan ini adalah keputusan Politik Prabowo selaku Presiden RI yang konstitutsional. Namun segolongan publik yang konsentrasi memperhatikan pola penegakan hukum yang dilakukan para aparat, tentu sah sah saja meng-klaim bahwa Tomas Lembong dan Hasto diberi pengampunan melalui diskresi politik, disebabkan salah satunya dari sisi perspektif realitas fenomena dengan berbagai dahsyatnya gejala dinamika banyaknya amicus curiae (sahabat pengadilan) yang vokal dan nyaring diteriakan oleh para aktivis peduli penegakan hukum atau masyarakat pecinta tegaknya keadilan yang menunjukan bebagai data empirik betapa lemah dan 'buruknya rule ditegakan' oleh para aparat (law behavior). Sehingga telanjang keberadaan praktik over lapping terhadap sistim hukum.
Lalu kini patut didiskusikan oleh publik karena hak berdemokrasi dalam ruang hukum Hak Serta Masyarakat tentang "konsensus nasional" model apa yang akan diterapkan kepada Jokowi dengan segala dugaan publik terjadap ijazah palsu dan "SERIBU KEBOHONGANNYA ?" lalu diskresi politik dan hukum apa yang mungkin terjadi pada para aktivis korban ulah Jokowi?
Tentu Bapak Prabowo Subianto selaku Presiden RI dan Petingggi Istana dan beberapa Petinggi Politik di Senayan serta Para Begawan Politik Praktis (stakeholder) Partai-Partai Pengatur Para Sosok isi Gedung di Senayan yang mungkin diketahui. Dan urgen dari sisi pandang politik tidak boleh ditampik, sosok Jokowi merupakan begawan di sebuah partai politik !
Selanjutnya, hal Objek Pengampunan dan Siapa Subjek Pengampunan episode berikutnya, masyarakat bangsa ini tinggal menunggu dan menerima atau terus kembali berjuang, namun ideal kritisi harus terus, mesti terus hadirkan sosok sosok heroik, terutama para ahli hukum wajib melahirkan opini hukum sebagai para sahabat pengadilan (friends of the court) demi memperjuangkan prinsip tegaknya hukum ditanah air dari agitasi "para komprador dan memperjuangkan nasib para aktivis yang 'dikriminilasi' oleh sisa-sisa kekuatan Jokowi" yang tampaknya masih prima pengaruhnya, dan cukup mengkristalisasi diberbagai sektor kekuasaan politik, ekonomi dan hukum bahkan 'terasa' kontemporer tetap masiv menggerogoti mentalitas dan moralitas budaya kepemimpinan anak bangsa.
Sejarah penegakan hukum terhadap Jokowi quo vadis? Pastinya akan melahirkan sosiologi politik dan hukum di tanah air selama satu dekade dan mencemari sebagian dari oknum suksesinya. Tunggu dan lihat.
Pengamat adalah Advokat dan Jurnalis, Ketua Bidang Hukum dan HAM- Ketua LPBH DPP KWRI.

