Dari Abolisi ke Amnesti: Politik Pengampunan di Era Jokowi dan Ancaman Rule of Law
Ilustrasi. (Poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Didahului dengan Abolisi kepada Lembong "orang Anies Baswedan" karena sejak diperiksa dan ditahannya Lembong banyak protes keras dan kritik keras publik karena kebijakan Lembong atas perintah Jokowi, selain kerugian negara tidak ada, dan pejabat menteri sebelumnya tidak terkejut, bahkan menambah jumlah impor gulanya.
Lalu Amnesti Hasto, tokoh besar yang belakangan dianggap lawan langsung Jokowi, diawali atas "pengkhianatan Jokowi terhadap Partai PDIP." Dan nyata proses hukum yang dilakukan KPK memang cenderung arogansi sehingga acakadut dari sistim hukum (suka suka).
Terhadap pola politik yang diberikan oleh eksekutif dan disetujui legislatif terhadap para kubu lawan Jokowi ini, khususnya mayoritas pengamat, memberikan respon positif terhadap kebijakan Presiden RI.
Maka ada 2 (dua) pertanyaan yang cukup serius:
1. Apakah perilaku kriminal luar biasa (korupsi) lainnya akan dilanjutkan dengan kebijakan abolisi, amnesti, grasi bahkan rehabilitasi terhadap eks pejabat eksekutif dari atau pro "kubu" Jokowi. Seperti terhadap dua orang saat ini yang sudah mulai diperiksa oleh KPK Yakut dan Makarim;
2. Lalu apakah diskresi politik akan terus menyentuh orang-orang Jokowi lainnya yang pernah terpapar isu keras korupsi, seperti Airlangga, Tito, Zulhas, Bahlil dan sederat orang lainnya ataukah justru khusus nama Airlangga Cs memang sudah 'disepakati' ditutup (peti es kan) tanpa perlu berlindung?
Tentu dengan barometer perbandingan daripada gejala gejala politik 'pengampunan dan peti es' yang ada, diyakini kedua jenis politik pengampunan atau peti es kasus, akan menyentuh kasus gratifikasi dan atau korupsi yang melibatkan sosok Gibran, Kaesang serta Bobby Nst?
Andai metode prerogatif ini transparansi terus berlanjut, maka 'Negara RI' dalam praktiknya tampak "sengaja" ingin mendiskreditkan sistem konstitusi. Artinya jika pola memaafkan ini berkelanjutan substantif yang menjadi panglima terhadap bangsa dan negara sudah bukan hukum (rule of law), tapi beralih ke tangan Presiden RI dalam bentuk prerogatif atau kekuasaan belaka, yang pembentukannya akan mengarah ke pola otoritarian?
Dalam makna luas, justru sistem hukum bakal terancam degradasi legalitasnya oleh Politik dan Kekuasaan, akhirnya keberadaan 'asas dan teori-teori hukum' nir guna. Kampus dan perguruan tinggi secara hakekat menjadi nihil atau difungsi. Ilmu pengetahuan terkondisi rawan menjadi, ilmiah (ilmiah) bukan atau tidak lagi merupakan kebutuhan masa depan.
Dari fenomena dan dinamika praktik nyata akibat politik kekuasaan sejak satu dekade (era Jokowi) dan realitas kontemporer, tentu layak bangsa ini memprioritaskan mengantisipasi segala bentuk bahayanya kerusakan moral dan mentalitas yang akan terjadi di masa depan, dengan cara lebih khusyuk berdoa kepada Tuhan.

