Dari Abolisi hingga Rekonsiliasi: Keyakinan Hukum atas Peluang Bebas DHL dan 11 Aktivis

Damai Hari Lubis, Habib Rizieq dan Arvid Saktyo

Penulis: Arvid Saktyo, SH.,MH, (Sekjen Korlabi (Koordinator Pelaporan Bela Islam) dan Kuasa Hukum Damai Hari Lubis)

Satuju.com - Hasil diskusi antara kami selaku sahabat dan sesama Pengurus Korlab (Ketua dan Sekjen), lahirkan artikel yang bernarasi keyakinan didasari hukum dan politik, pasca Lembong dan Hasto mendapat abolisi dan amnesti.

Keyakinan karena sebab hukum, klien Kami DHL dan ke 11 Terlapor atas laporan Jokowi kepada Penyudik Polda Metro Jaya, karena beberapa Terlapor mencurigai Jokowi menggunakan Ijazah Palsu S-1 Fak. Kehutanan UGM" tidak lama lagi akan bebas, akibat dihentikannya penyidikan, karena selain laporan Jokowi "zonk" value kualitas bukti formal, sehingga nihil kebenaran materil, ditambah terjadi penyimpangan tehnis standar hukum asas delik aduan absolut. Atau mungkin kah JPU akan melakukan pembiaran atas penyelesaian tehnis (system error) penyidikan, lalu pembenaran terhadap dakwaan JPU oleh Majelis Hakim kelak? Selebihnya (rahasia) strategi hukum Kami, dan argumentatif pastinya berdasarkan kekuatan Konstitusi UUD. 1945 bahwa jabatan Kapolri absolut langsung berada di bawah kekuasaan Presiden RI.

Maka segala sistim hukum dan didasar konstitusi, sebagai landasan yang mengawali argumentasi perspektif hukum akan 'bebasnya' klien kami, termasuk 11 (sebelas) terlapor lainnya. Alternatif bebasnya bisa secara litigasi atau langkah "non litigasi" jika di break down alasan DHL dan kesebelas lainnya adalah melalui pola ("Realitas") Litigasi dan Non Litigasi politik hukum (diskresi kekuasaan):

1. Melalui stagnasi proses hukum atas perkara yang mendera Klien Kami DHL dengan Pola historis ''pembebasan' ala Eggi Sudjana.
2. Bebas melalui proses tahapan penyidikan (SP-3), lantaran secara hukum, Penyidik bakal menyadari klien Kami DHL juga ke 11 orang terlapor sedang menjalankan perintah undang-undang atau secara perspektif dan logika hukum, bahwa 12 anggota kelompok masyarakat terlapor, sedang menjalankan proses demokrasi, sesuai koridor hukum tentang 'kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum sekaligus selaku WNI tengah menjalankan amanah membantu pihak polri dalam fungsi tugasnya sesuai perintah pasal yang termaktub didalam UU. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan KUHAP. Selain Klien kami dkk adalah sedang menjalan profesi selaku Advokat dan Jurnalis dan sosok ilmuwan yang berkewajiban sumbangsih ilmunya.
3. Bebas sebelum status Klein Kami tersentuh predikat TSK. Karena Negara RI ini punya presiden yang memiliki hak prerogatif untuk berbuat yang terbaik terhadap bangsa dan negara, diantaranya; Amnesti, Abolisi, Grasi dan Rehabilitasi, dan tak kalah penting inisiatif diskresi (langkah kebijakan politik) presiden dengan mengupayakan rekonsiliasi nasonal. Kesemua hak ini dapat juga diberikan tidak hanya kepada klien kami, DHL (12 orang terlapor) namun hak prerogatif ini balanced bisa didapatkan juga oleh Jokowi.

Penjelasan status hukum yanh seluas luasnya namun sebatas artikel,  khusus klien Kami DHL jelas secara hukum dilindungi oleh Ketentuan UU. Tentang Advokat dan juga UU. Tentang Pers selain juga terbukti seorang narsum yang "mendapat honor", selaku Pengamat Kebijakan Umum Penguasa pemerintahan, Hukum dan Politik. Sehingga kausalitas hukum, terkait apa yang 'dilakukan' Klien kami, yang sudah dikalungi status Terlapor oelh Reskrimum, maka harus melalui proses pegaduan adanya pelanggaran kode etik advokat dan pelanggaran kode etik pers, sehingga tentunya tidak bisa sekonyong-konyong statusnya dilabel Tersangka/ TSK.

Pertanyaan serius dan penting, apakah proses hukum (equality before the law) terhadap Klien Kami sudah didahului dengan proses pengaduan oleh Pelapor Jokowi kepada Dewan Kehormatan Organisasi Advokat dan Pengaduan ke Dewan Pers ? Tentunya jika belum atau tidak ada, bakal ada bantahan atau perlawanan keras berupa upaya upaya hukum yang semata berdasarkan asas legalitas, walau substansial terhadap status Terlapor pun sudah terindikasikan adanya faktor penyimpangan penyidik secara teknis merujuk hukum pidana formil (KUHAP);

Selebihnya penjabaran hukum secara umum, perihal hak diskresi "kebijakan subjektif" penyidik yang debatebel namun faktanya realitas ada dalam praktik kekuasaan terkait pola penyelesaian litigasi dan non litigasi (restorstive of Justive) berdasarkan rule of law, kesemua keuasaan kedua kategori hukum itu konkrit dan absolut ada pada Prabowo selaku Presiden RI dan tidak bisa diobstruksi oleh kekuatan apapun karena hak absolutisme Presiden RI.

Naun apabila lahirkan alternatif  kontraproduktif terhadap ke 12 orang aktivis yang ternyata oleh penyidik reskrimum tidak mendapatkan penetapan hukum oleh Penyidik Polri dan atau atas dasar diskresi politik hukum (subjektivitas) secara litigasi tidak terjadi, maka faktor penyebab arogansi dan irrelevant sesuai data empirik dikarenakan Kapolri memang masih shadow kekuasaan dari 'Geng Solo'. Maka perjuangan bangsa ini dan dukungan publik kepada ke 12 aktivis berlanjut dan Presiden Prabowon dan siapapun penerusnya terbebani sejarah legasi Jokowi yang amburadul disemua sektor (ekonomi, hukum, politik dan mentalitas budaya)

Selanjutnya tetap positifisme kami selaku kuasa hukum DHL meyakini oleh sebab proses Amnesti, Abolisi dan grasi juga rehabilitasi, yang harus melalui tahapan due process di ranah peradilan, maka perspektif kami, bakal terjadi unifikasi antara kebijakan hukum dan politik (beralaskan kekuasaan) demi masa depan bangsa ini, altenatifnya Presiden RI Prabowo bakal mengambil langkah rekonsiliasi nasional dengan pola bakal mengundang dan mengumpulkan para tokoh bangsa, *_dan mengingat sepengetahuan umum penguasa (Presiden dan KMP kontemporer termasuk Jokowi dan Jokowi lovers, ke 12 (dua belas) orang selain klien Kami DHL, ada tokoh Eggi Sudjana dan selebihnya (ke 12 orang aktivis) juga berbasis kepemimpinan dan atau memiliki hubungan kedekatan baik pribadi maupun emosional kedekatan pergerakannya mengarah kepada tokoh ulama besar kharismatik bangsa ini yang eksistensinya dalam kehidupan sosial politik (legitimasi publik) adalah nyata dihadapan bangsa dan negara, yakni Dr. Habib Rizieq Shihab (HRS), 

Sosok wibawa Tokoh Ulama Besar ini lahir secara 'alami' karena gerak perjuangannya, bukan dikarbit melalui banyak kamera. Terbukti HRS telah disowani langsung kerumahnya oleh tokoh politik Sufmi Dasco yang saat ini disegani oleh siapapun pucuk petinggi partai-partai peserta pemilu 2024.

Selain dan selebihnya HRS sesuai historis era rezim Jokowi tidak bisa tertolak, oleh fihak atau kelompok atau golongan manapun (akal sehat), Dr. HRS  sebagai pribadi korban langsung (individual) maupun tidak langsung (kolegial) sehingga identifikasi kepribadian kumulalitatif HRS sebagai faktualis tokoh ulama besar yang menjadi musuh besar kebijakan politik rezim Jokowi, dan para oknum rezim Jokowi notabene belum sama sekali tersentuh oleh hukum, sehingga kemungkinan salah satu tokoh besar republik, yang bakal diajak bermufakat dalam rekonsiliasi adalah HRS.

Lalu berdampak positif pasca rekonsiliasi pertikaian dan permasalahan sulit bangsa ini mungkin akan cepat mereda sehingga Presiden Prabowo akan dengan mudah mencapai cita cita cita-citanya.

Dari sisi pandang positif dan tujuan lainnya, Prabowo lebih mudah menata negara, bukan seolah-olah sosok petugas "cleaning service yang live service dari Mr. Lip service" dari sekadar membersihkan semua 'residu' di semua sektor akibat faktor gaya kepemimpinan urakan (bad Leadership) selama satu dekade (2024-2024) yang menghasilkan 'kacau balau', sehingga legasi PR/ Pekerjaan Rumah dari Jokowi waktu yang mubazir bagi Presiden Prabowo dan KMP.

Dan andai benar terjadi metode restorative Justice dengan model “rekonsiliasi”, sebagai representasi antara pihak klien Kami sebagai barisan dan ikatan dari basis komando figur IB. HRS dengan catatan penting implementasi rekonsiliasi adalah BERKEADILAN, tentu tidak mustahi Klien kami DHL dan 11 rekan eks terlapor cenderung bak "kaki jadi kepala, kepala jadi kaki" untuk mendukung Prabowo melawan setiap gerakan politik komprador, siapa pun dan dari manapun seteru Presiden Prabowo berasal terutama politik beraroma Komunis Gaya Baru.