Kasus dr. Ratna Bongkar Celah Hukum: Dari Lex Spesialis yang Dilanggar hingga Dugaan Uang Damai

Hangga Oktafandany, SH (kiri) bersama kleinnya dr. Ratna Setia Asih, Sp.A

Pangkalpinang, Satuju.com – Kasus hukum yang menjerat dr. Ratna Setia Asih, Sp.A, dokter spesialis anak di RSUD Depati Hamzah Pangkalpinang, kian menjadi sorotan publik. Senin (18/8/2025).

Ia ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Polda Babel atas dugaan kelalaian medis yang dikaitkan dengan kematian seorang pasien anak, Alm. Aldo Ramadhani (10). 

Namun, dibalik proses hukum ini, kuasa hukum dr. Ratna, Hangga Ofandany, SH, mengungkap adanya dugaan kriminalisasi yang terjadi yang melibatkan Majelis Disiplin Profesi (MDP) Konsil Kesehatan Indonesia (KKI).

Lebih jauh lagi, Hangga menuding bahwa rekomendasi MDP KKI yang menjadi dasar penetapan tersangka justru cacat hukum, sarat manipulasi, dan dugaan kepentingan uang damai senilai Rp 2,8 miliar.

Lex Spesialis yang Dilanggar

Menurut Hangga, proses hukum terhadap anggota profesi kedokteran seharusnya tunduk pada prinsip lex spesialis, di mana mekanisme disiplin profesi harus lebih dahulu dilakukan sebelum aparat penegak hukum menggunakan ketentuan pidana umum. 

Prinsip ini sudah ditegaskan melalui *MoU antara organisasi profesi kedokteran dan lembaga penegak hukum*.

Namun, dalam kasus dr. Ratna, mekanisme itu justru ditabrak. Polisi langsung memproses laporan tanpa adanya pengaduan, pemeriksaan, dan putusan dari MDP KKI. Rekomendasi MDP baru muncul setelahnya, itupun disebut penuh kejanggalan.

Rekomendasi Dipotong, Pasal Dilangkahi

Hangga menilai MDP KKI dan peneliti keliru besar dalam penerapan Pasal 308 UU Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Menurutnya, Pasal 308 hanya bisa diterapkan jika mekanisme Pasal 305 telah dijalankan, yakni adanya pengaduan, pemeriksaan, dan keputusan MDP. 

“Rekomendasi sebagaimana Pasal 308 itu seharusnya proses akhir, bukan awal. Tapi anehnya, MDP, polisi, bahkan pengacara dokter lain justru memangkas mekanisme undang-undang dengan loncat ke Pasal 308. Ini jelas melawan hukum,” paparnya.

Lebih jauh lagi, ia menyebut tidak ada satu pun keputusan MDP KKI yang menyatakan dr. Ratna dan enam dokter lain melanggar standar profesi. 

"Kalau belum ada konsekuensi pelanggaran, atas dasar apa MDP memberikan rekomendasi? Apalagi di situs resmi KKI, menteri kesehatan bahkan belum mengeluarkan penetapan standar profesi dokter anak. Jadi rekomendasi ini benar-benar cacat dan melampaui batasnya," tambahnya.

Narasi “Pembunuhan” yang Dipaksakan

Yang lebih mengejutkan, keluarga korban disebut menggunakan istilah “pembunuhan” untuk menggambarkan kasus ini. Padahal, secara hukum, Pasal 440 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan lebih tepat dimaknai sebagai kebohongan yang menyebabkan kematian.

"Kalau benar narasi pembunuhan dimainkan, ini makin absurd. Mustahil satu dokter sendirian membunuh pasien di RSUD yang ramai, tanpa sepengetahuan dokter lain. CCTV belum disita, TKP tidak dipolice line, peralatan medis tidak diamankan, pelaku utama tidak jelas. Dan anehnya, justru dr. Ratna yang tidak pernah bertemu langsung pasien dijadikan tersangka tunggal," terang Hangga.

Dikatakannya, keluarga pasien pun hanya mengincar dr. Ratna dan mengabaikan dokter lain yang jelas-jelas menangani pasien. 

“Mengapa memilih sasaran yang lemah, padahal dokter lain yang lebih berperan dalam perawatan tidak disentuh? Ini menimbulkan pertanyaan besar,” tegasnya.

Dugaan Kriminalisasi Bermotif Uang

Hangga menyingkapkan adanya indikasi *kriminalisasi berjamaah* demi kepentingan uang damai. Ia menyebut menunda bahkan diultimatum untuk menyelesaikan perdamaian dalam waktu satu minggu, dengan ancaman proses hukum akan dilanjutkan jika gagal.

"Ini jelas tekanan. Polisi dan jaksa saja butuh waktu berbulan-bulan mengusut kasus, kok kami dipaksakan hanya seminggu. Ada motif kuat terkait uang Rp 2,8 miliar yang dibayangkan dijadikan alat barter agar dr. Ratna tidak ditahan. Kalau benar, ini aib besar bagi MDP KKI dan pihak-pihak yang terlibat," ujarnya.

Bukan Kasus Pertama: Belajar dari dr. Ayu di Bali

Kasus kriminalisasi dokter bukan pertama kali terjadi di Indonesia. Masyarakat tentu masih mengingat *kasus dr. Dewa Ayu Sasiary Prawani* bersama dua rekannya di RSUP Sanglah, Bali, pada 2010–2013. 

Ketiganya ditetapkan sebagai tersangka atas kematian pasien ibu hamil. Proses hukum kala itu juga menuai polemik karena *belum ada keputusan final dari organisasi profesi (IDI dan MDP)*, namun para dokter sudah ditersangkakan dan bahkan sempat mendekam di penjara.

Kasus dr. Ayu kemudian menjadi kontroversi nasional. Banyak pihak menilai aparat penegak hukum mengabaikan mekanisme profesi dan mempercepat penggunaan pasal pidana. 

Bahkan Mahkamah Agung sempat menjatuhkan vonis penjara, meski kemudian mendapat persetujuan luas dari kalangan medis dan masyarakat.

Polanya hampir serupa: rekomendasi profesi tidak tuntas, namun proses pidana jalan terus. Kini, pola itu kembali muncul dalam kasus dr. Ratna di Bangka Belitung. 

Bedanya, kali ini ada tuduhan lebih serius: dugaan manipulasi rekomendasi MDP dan motif uang miliaran.

Celah Hukum dan Bahaya Preseden

Kasus dr. Ratna menunjukkan bahwa *celah dalam koordinasi antara organisasi profesi dan aparat penegak hukum* masih rawan dimanfaatkan. 

Tanpa standar profesi yang jelas dan hukuman disiplin yang transparan, seorang dokter bisa sewaktu-waktu dijadikan tersangka, bahkan korban kriminalisasi.

"Bayangkan, tanpa ada standar profesi yang jelas, MDP bisa seenaknya memberi rekomendasi. Ini preseden berbahaya. Hari ini dr. Ratna, besok bisa dokter lain, bahkan profesi lain. Semua bisa dijadikan korban kriminalisasi demi kepentingan tertentu," tegas Hangga.

Potret Ketidakpastian Hukum

Apa yang terjadi pada dr. Ratna mencerminkan betapa rapuhnya sistem penegakan hukum ketika kepentingan ekonomi, politik, dan institusional bercampur aduk. 

Mekanisme hukum yang seharusnya jelas—mulai dari laporan, pemeriksaan profesi, hingga rekomendasi—dilanggar secara terang-terangan.

Di tengah carut-marut itu, seorang dokter perempuan yang tulus mengabdi justru menjadi tumbal. Diterangkan tunggal, menekan waktu, dan kini menghadapi risiko tersingkir.

Publik Menunggu Keberanian Aparat

Kasus ini bukan lagi sekedar penyelesaian medis. Ia telah menjelma menjadi *uji integritas aparat penegak hukum* dan organisasi profesi kesehatan. 

Masyarakat berharap apakah Polda Babel akan berani membuka semua fakta, termasuk dugaan penipuan di tubuh MDP KKI.

Jika tidak, kasus ini berpotensi menjadi noda besar dalam sejarah penegakan hukum kesehatan di Indonesia—sebuah contoh nyata bagaimana profesi mulia bisa dijadikan korban kriminalisasi demi angka Rp 2,8 miliar.

“Waktunya terbuka ke publik. Jangan biarkan kriminalisasi ini berlalu tanpa perlawanan,” pungkas Hangga.(RF)