Asas Hukum Lapor Balik dan Delik Aduan: Menguji Konsistensi Laporan Jokowi

Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Pengamat Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Ada asas hukum pidana dan asas hukum perdata yang biasa dalam praktik digunakan, yakni sebuah istilah hukum dalam perkara pidana disebut lapor balik (splitsing) karena terlapor akhirnya melaporkan si pelapor (saling lapor) dan jika ternyata kedua laporan naik ke ranah konferensi, maka (nomor) perkara pidananya terpisah dan dengan majelis hakim dan panitera yang juga berbeda.

Sedangkan dalam perkara perdata dikenal dengan istilah hukum 'gugat ginugat' atau gugat rekonvensi, dimana pihak tergugat melakukan gugat balik, timingnya saat persidangan gugatan perdata yang diajukan pihak penggugat tengah berlangsung di badan peradilan, namun gugatan rekonvensi dalam nomor pokok perkara yang sama pada saat surat jawaban oleh pihak tergugat.

Maka analogi peristiwa hukum pidana terhadap dan terkait laporan Jokowi dengan kategori "delik aduan absolut." Maka Jokowi sendiri langsung harus menjadi pelapor.

Namun kenyataannya Jokowi yang awalnya melaporkan hanya 5 orang, (vide media online Jo.yutub dan Kahumas Polda Metro Jaya), namun belakangan berkembang menjadi 12 orang ?

Terhadap hal yang aneh menurut perkara yang berjenis delik aduan ini. Maka resiko hukumnya, sesuai asas hukum lapor balik (splitsing), maka logika hukumnya, "SIAPA SUBJEK HUKUM YANG DAPAT DILAPOR BALIK OLEH SI TERLAPOR. Karena eksplisit dan booming, setelah pihak terlapor berbeda jumlah dari 5 orang menjadi 12 orang terlapor, ketika ditanyakan kepada Jokowi, Jokowi menjawab, memang saat saya membuat laporan, saya tidak menyebut nama", sehingga dalam makna hukum 7 orang lainnya merupakan hasil pengembangan penyelidik/ penyidik Reskrimum polda Metro Jaya ? Atau pihak.lain selain Jokowi.

Sementara asas teori hukum pidana, saklek (tidak bisa ditawar tawar, sesuai aturan) dengan isi ketentuan norma/ rule, bahwa, pelapor delik aduan adalah orang yang  pilihan siapa yang dia mau korban laporkan oleh sebab hasut dan atau fitnah (Jo. Laporan Jokowi kepada 5 orang atau 12 orang sekalipun atas tuduhan Ijazah Palsu).

Dan mengingat karakteristik Jokowi yang notoire feiten atau sepengetahuan umum adalah pembohong (notorius) maka, Jokowi kembali berkelit, saya tidak pernah melaporkan dari nama-nama dari ke 12 orang terlapor tersebut dihadapan Penyidik Reskrimum Polda Mater Jaya.

Terlepas daripada ilustrasi argumentatif Jokowi 'kelak', maka asas dan teori hukum pidana terkait laporan Jokowi yang sudah pada tingkat penyidikan, terlebih andai perkara sudah meningkat status terlapornya menjadi TSK dan bukan hal tidkaungkin dengan politik kekuasaan ynag Jokowi miliki bakal naik kepada tingkat tuntutan (Dakwaan) JPU. Maka Jokowi memang manusia luar biasa. Dan korbannya tentu penyidik dan JPU. Bahkan tidak mustahil aparat penyelenggara negara selaku penegak hukum yang ketiga juga menjadi korban, yaitu Majelis Hakim. Walau belum tentu mereka merasa dikorbankan justru bisa jadi antitesis dari perspektif yang masih berupa asumsi hukum ini. Walau tidak apriori jika parameter penegakan hukumnya (law enforcement) pada tempo sejarah satu dekade kebelakang (2014-2024), era irama suka-suka rezim Jokowi.

Maka hanya ada dua sikap hukum agar semua pihak khusunya 12 terlapor "tidak lagi-lagi menjadi korban" dari sosok bekas Presiden RI ke 7, semata demi kepastian hukum dan rasa keadilan, serta menghindari 'bertambah tebalnya sejarah hitam penegakan hukum' ditanah air, ideal diataranya dari sekian jumlah metode hukum acara:

1. Penyidik oleh sebab kepastian hukum menghentikan Penyidikan atau setidaknya tepat waktu untuk menggunakan ala lama historis hukum periode 2014-2024 'hak subjektivitas penyidik ', dengan pola stagnasi (peti es) terhadap proses penyidikan kepada ke 12 orang terlapor;

2. Sebaliknya Anda mungkin dipaksakan naik ke pihak Kejaksaan RI. Maka ideal Kejaksaan (JPU) MENOLAK PELIMPAHAN BERKAS PERKARA UNTUK MENGARAH KE P-21 atau sebaliknya menyarankan terhadap berkas objek pokok perkara yang disampaikan oleh penyidik agar Penyidik mengeluarkan SP. 3 karena Pola pelaporan delik aduan tidak sesuai prinsip ketentuan sistim hukum (pidana formil) yang berlaku.

Adapun penolakan pemeriksaan lanjutan berkas terhadap objek perkara oleh JPU sudah tepat, oleh sebab dalil hukum, bahwa penerapan pola laporan yang jelas jelas menyimpang dari asas delik aduan dan melenceng dari pada metode KUHAP dan Perkappolri, maka beresiko hukum surat dakwaan dinyatakan kabur (obscuri libelli) melalui putusan sela (tussen vonnis) akibat eksepsi atau bisa saja menggunakan JPU hak oportunitas sesuai dalam KUHAP Jo. asas dominus litis kelak pada kebahagiaan.  

Waktu terus bergulir, namun sebagai penutup, jujur penulis sendiri pesimistis apakah teori dan asas hukum positif ini bakal diberlakukan di tanah air pada era sekarang? Walau Indonesia sudah merdeka 80 Tahun? Sudah lama sekali!

Ahad, 17 Agustus 2024

Penulis adalah Advokat, Nara Sumber dan Jurnalis.