Damai Hari Lubis Soroti Perbedaan Proses Hukum Kasus Anwar Usman dan Ijazah Jokowi
Jokowi, Anwar Usman dan Damai Hari Lubis
Jakarta, Satuju.com – Pengamat KUHP, Damai Hari Lubis, menilai terdapat perbedaan mencolok dalam penanganan hukum antara laporan Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) terhadap Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman dengan laporan terkait dugaan ijazah palsu Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Damai, penilaian ini bersifat subjektif namun berbasis objektivitas, karena dilengkapi dengan data fenomena empiris serta hukum dan politik yang menyertainya.
Perbandingan Kasus Anwar Usman dan Ijazah Jokowi
Damai menyoroti kontras proses hukum kedua kasus tersebut:
- Laporan TPUA terhadap Anwar Usman
Diajukan pada 2 November 2023, namun hingga kini hampir dua tahun berlalu tanpa perkembangan hukum yang signifikan.
- Laporan dugaan ijazah palsu Jokowi
Dibuat pada 30 April 2025, dan dalam waktu singkat sudah terdapat 12 orang yang ditetapkan sebagai terlapor.
Tanggapan Advokat
Advokat Petrus Selestinus dari Advokat Nusantara menilai terdapat sejumlah kejanggalan. Salah satunya, ijazah Jokowi yang menjadi barang bukti utama tidak pernah diserahkan kepada penyidik.
Petrus menekankan bahwa laporan terkait dugaan ijazah palsu Jokowi seharusnya mendapat prioritas penanganan hukum karena mencakup kepentingan publik yang besar, termasuk menjaga marwah pendidikan tinggi dan lembaga kepresidenan.
Perspektif Damai Hari Lubis
Sebagai eks Koordinator TPUA, Damai Hari Lubis memandang bahwa secara majas politik, TPUA sudah “memenangkan gugatan” di mata publik mengenai dugaan ijazah palsu Jokowi.
Ia menegaskan bahwa proses hukum harus transparan dan menyeluruh demi menemukan kebenaran materil.
“Apapun hasilnya kelak, kausalitas laporan ijazah Jokowi harus jelas. Tidak boleh berhenti pada ambiguitas,” ujar Damai.
Ambiguitas Pandangan Akademisi
Lebih lanjut, Damai mengkritisi pernyataan Prof Marcus Priyo Gunarto, Guru Besar Hukum Pidana UGM, yang dianggap ambigu. Menurut Damai, ketidaktegasan Marcus dalam memberikan pendapat justru bisa menyetujui sebagai bentuk pengakuan tidak langsung mengenai ketidakjelasan originalitas ijazah Jokowi.
Prof Marcus sebelumnya menegaskan bahwa Jokowi pernah kuliah, lulus, dan diwisuda. Namun ia juga menyebut bahwa ijazah hanya diterbitkan sekali, sementara pihak kampus tidak lagi memiliki dokumen aslinya.
Marcus menjelaskan, dalam hukum pidana dikenal dua bentuk pemalsuan:
1. Membuat palsu, yaitu ketika dokumen asli tidak pernah ada, tetapi dibuat seolah-olah ada.
2. Memalsukan, yaitu ketika dokumen asli pernah ada, namun hilang atau rusak, lalu dibuatkan yang baru seolah-olah asli.
Keduanya merupakan tindak pidana dengan ancaman hukum. Dalam kasus ijazah Jokowi, menurut Marcus, laporan yang disampaikan oleh Rismon Sianipar masih belum jelas apakah menuduhkan “membuat palsu” atau “memalsukan”.
Perbedaan proses hukum antara kasus Anwar Usman dan laporan ijazah Jokowi, menurut Damai Hari Lubis, membuka ruang diskusi publik yang lebih luas. Ia menegaskan, kasus ini bukan hanya persoalan pribadi seorang presiden, melainkan juga membuktikan konsistensi penegakan hukum dan kredibilitas lembaga negara di mata publik maupun internasional.

