Pantaskah Alexander Pranoto Menarik Kembali Tanah yang Sudah Ia Hibahkan 4 Hektar ke Edy Natar Nasution?
Masrul Sikumbang (kiri), Alexander Pranoto (Tengah) dan Edy Natar Nasution (kanan). (Poto/ist).
PENDAPAT HUKUM
Oleh: Rival Achmad Labbaika
Ketua Umum Aliansi Jurnalistik Online Indonesia (AJOI).
Awal Kasus
Alexander Pranoto diketahui pernah menyerahkan tanah seluas 4 hektar kepada Edy Natar Nasution dengan tujuan mulia, yaitu untuk pembangunan pesantren. Namun, hingga waktu berjalan, tujuan tersebut tidak terwujud. Atas dasar itu, Alexander menuntut tanahnya dikembalikan.
Di sisi lain, Edy menyatakan bahwa tanah itu diberikan “ cuma-cuma .” Namun fakta adanya pendirian akta yayasan dengan tujuan pembangunan pesantren menunjukkan bahwa hibah ini sejak awal bersifat bersyarat .
Pertanyaan hukum pun muncul: * Apakah langkah Alexander sah secara hukum perdata, agraria, syariah, dan hukum publik? *
1. Etimologi Hibah
Kata hibah berasal dari bahasa Arab yang berarti * memberikan secara sukarela dan cuma-cuma tanpa imbalan. *
Dalam hukum Islam:
• Hibah adalah memberikan sesuatu kepada orang lain pada saat masih hidup, tanpa mengharap balasan, dilakukan dengan ikhlas.
• Dalilnya antara lain QS. An-Nisa ayat 4, serta hadits Nabi yang tekanan keutamaan memberi hibah sebagai bentuk kasih sayang dan silaturahmi.
Dalam hukum positif Indonesia:
• Konsep hibah diadopsi ke dalam KUH Perdata (Pasal 1666–1693) dan Kompilasi Hukum Islam (Pasal 210–214 KHI).
• Substansinya sama: pemberian cuma-cuma. Namun, hukum positif menambahkan syarat formal berupa akta notaris/PPAT apabila objek hibah berupa tanah.
2. Dasar Hukum Hibah dalam KUH Perdata
• Pasal 1666 KUH Perdata:
“Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana seorang penghibah, di waktu hidupnya, dengan *cuma-cuma* dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”
• Pasal 1682 KUH Perdata:
“Tiada suatu hibah pun, kecuali hibah-hibah biasa dari barang-barang bergerak yang bertubuh atau tidak bertubuh, dapat dilakukan tanpa suatu akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu.”
• Pasal 1688 KUH Perdata:
Hibah dapat ditarik kembali dalam hal:
1. Tidak dipenuhi syarat hibah.
2. Penerima hibah berbuat kejahatan terhadap penghibah.
3. Penerima hibah menolak memberi nafkah sebagaimana diwajibkan undang-undang.
3. Dasar Hukum Hibah dalam Hukum Agraria
• PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 ayat (1):
“Peralihan hak atas tanah karena jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).”
Akta yang dimaksud di sini adalah Akta Hibah yang dibuat oleh PPAT, yang kemudian digunakan sebagai dasar balik nama sertifikat di kantor pertanahan.
4. Fakta Hukum Kasus Alexander - Edy
1. Alexander Pranoto memberikan tanah kepada Edy Nasution dengan maksud untuk pembangunan pesantren.
2. Tanah tersebut dibalik nama ke atas nama Edy.
3. Dibuat akta yayasan yang menunjukkan adanya tujuan sosial/pendidikan dari hibah.
4. Pesantren tidak pernah dibangun.
5. Edy menyatakan tanah tersebut “diberikan cuma-cuma.”
6. Alexander dilarang masuk ke lokasi tanah saat hendak mengambil peralatan, bahkan diusir oleh pihak Edy.
5. Analisis Hukum
A. Hibah Lisan Tanpa Akta
• Hibah tanah yang dilakukan hanya secara lisan (tanpa akta PPAT) adalah tidak sah menurut hukum positif Indonesia, karena syarat formil tidak terpenuhi.
• Namun, keberadaan saksi, akta yayasan, dan tujuan hibah tetap dapat menjadi bukti adanya maksud hibah bersyarat.
B. "Cuma-Cuma” tidak berarti Hibah Mutlak
• Secara hukum, hibah memang bersifat cuma-cuma (Pasal 1666 KUH Perdata).
• Namun dalam kasus ini, ada tujuan khusus: pembangunan pesantren. Itu artinya hibah adalah hibah bersyarat (hibah muqayyadah).
• Fakta adanya akta yayasan memperkuat bukti hibah bersyarat, bukan hibah mutlak.
C. Jika Versi Edy “Cuma-Cuma” Adalah Hibah Mutlak
• Jika tanah itu murni pemberian cuma-cuma tanpa syarat, maka timbul pertanyaan serius: mengapa seorang pejabat publik bisa menerima hibah tanah 3 hektar dari pengusaha?
• Ini berpotensi menjadi gratifikasi sebagaimana diatur dalam *Pasal 12B UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor.*
D. Jika Versi Alexander = Hibah Bersyarat
• Karena pesantren tidak dibangun, maka syarat hibah tidak terpenuhi, hibah dapat ditarik kembali (Pasal 1688 KUH Perdata).
• Sertifikat tanah yang sudah atas nama Edy bisa dibatalkan melalui putusan pengadilan berdasarkan Pasal 32 ayat (2) PP 24/1997.
E. Tindakan Mengusir Alexander
• Melarang Alexander sebagai pemberi hibah untuk masuk dan mengambil barang di lokasi tanah dapat dianggap sebagai tindakan melawan hukum, bahkan bisa dikategorikan sebagai perbuatan tidak menyenangkan/penguasaan tanpa hak.
• Ini memperkuat dalil bahwa penerima hibah telah melakukan perbuatan yang merugikan pemberi hibah, oleh karenanya telah terpenuhi salah satu alasan pembatalan hibah menurut Pasal 1688 KUH Perdata.
6. Posisi Para Pihak
Alexander Pranoto:
• Kuat secara hukum perdata dan agraria.
• Memiliki bukti bahwa hibah bersyarat (akta yayasan, saksi, tujuan pesantren).
• Berhak menuntut pembatalan hibah dan pengembalian tanah.
Edy:
• Jika mengklaim "cuma-cuma" sebagai pengertian hibah mutlak* jelas rawan masalah gratifikasi.
• Jika mengklaim *hibah bersyarat,* jelas wanprestasi, sehingga hibah dapat ditarik kembali.
• Secara moral dan publik, posisi
Edy ini lemah karena menguasai tanah yang diperuntukkan untuk pesantren tetapi tidak digunakan sebagaimana mestinya.
7. Kesimpulan
1. Pernyataan Edy bahwa tanah yang diberikan “cuma-cuma” tidak memperkuat posisinya, justru membuka dua kemungkinan masalah serius:
• Jika “cuma-cuma” atau hibah mutlak, Edy berkemungkinan terjerat gratifikasi (UU Tipikor).
• Jika * hibah bersyarat *wanprestasi, hibah bisa dibatalkan (KUH Perdata, PP 24/1997).
2. Fakta adanya akta yayasan, Saksi, dan tujuan hibah memperkuat posisi Alexander bahwa hibah bersyarat, sehingga sah untuk ditarik kembali.
3 . Tindakan Edy melarang Alexander masuk ke tanah tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap amanah hibah, bahkan dapat dikualifikasikan sebagai tindakan melawan hukum.
Dengan demikian, secara hukum positif maupun moral masyarakat, posisi Edy sangat lemah, sedangkan posisi Alexander memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut pembatalan hibah serta pengembalian tanah.

