Gibran, Jokowi, dan Jejak Cacat Konstitusi: Antara Nepotisme dan Ambisi Politik
Ilustrasi.(Poto/net)
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Satuju.com - Diyakini pola cawe cawe Jokowi dan Anwar Usman yang "mengarbit usia" Gibran ada hubungannya dengan kesepakatan Prabowo akan menyerahkan kursi RI 1 pasca 2 tahun berkuasa, walau keyakinan ini bersifat subjektivitas, karena didasari "isu" yang disampaikan secara transparansi oleh Connie Rahakundini Bakrie yang dikenal oleh publik sebagai aktivis dan pengamat militer serta pertahanan dan sengaja dipublis sebelum pemilu Pilpres 2024. Namun rumor politik ini tentu amat meresahkan mengingat sejarah "kebrutalan perilaku Jokowi saat berkuasa bahkan hingga saat ini".
Namun parameter pola track politik Gibran untuk mendapatkan Kursi RI sesuai data empirik menunjukan kejelasan adanya 'cacat konstitusi'. Karena terbukti menggunakan hal yang haram menurut sistim hukum, yakni menggunakan pola nepotisme, sesuai isi putusan MKMK yang isinya memberhentikan Anwar Usman dari jabatannya, karena menjadi hakim ketua majelis saat memimpin sidang terkait permohonan uji materi yang berhubungan erat dengan kebutuhan Gibran Bin Jokowi mengikuti Pemilu Pilpres Wapres Tahun 2024.
Tentunya status Gibran selaku anak Jokowi yang memaksa melawan hukum untuk jabatan RI 2 dan intrik Jokowi yang melalui orang orang kepercayaannya saat berkuasa ingin menuju jabatan RI untuk periode kali ke 3 nya walau bertentangan dengan UUD. 1945 dan mengingat Jokowi yang hobi berdusta dan menjerat para pejabat tinggi publik penyelenggara yang diduga terpapar korupsi saat dirinya berkuasa bahkan saat ini pola anomali memperalat 'hasil jeratan' masih kental digunakan oleh Jokowi presiden bekas dimaksud. Hal perilaku negatif (bad attitude) ini sangat dirasakan oleh para aktivis terlapor terkait dugaan "Jokowie pengguna ijazah S1 palsu'.
Sehingga karakteristik gen kepemimpinan 'brengsek' ala Jokowi ini dikhawatirkan bakal menurun akibat faktor genetika kepada Gibran (anak biologis) dan track record Gibran menuju RI 2 telah menunjukkan cermin "brutal politics" dari duo anak beranak Gibran dan Jokowi.
Sehingga bagi anak bangsa yang mengkhawatirkan Gibran berkuasa dengan dimentori oleh Jokowi yang kebelet terus berkuasa dengan tipikal kepribadian 'nyaris minus' dan saat ini masih dalam "status sengketa S1 UGM yang diyakini diduga 100 % ijazah palsu berdasarkan analisa teknologi modern serta perspektif indrawi yang didasari dengan kekuatan filosofis (pemikiran kuat) dan terstruktur secara politis atau sesuai merujuk teori estetika politik.
Dan pola "penghalangan" terhadap sosok Gibran menjadi Presiden adalah sejak dini, mulai saat ini pra Prabowo mendekati masa jabatan menuju 2 (dua) tahun, dan pola gerakan gerakan 'obstruksi' terhadap sosok Gibran ini nampak sudah dimulai oleh beberapa tokoh aktivis.
Idealnya pola 'barrier-sasi' terhadap Gibran mesti nice atau elegan, harus memiliki niat demi persatuan dan kesatuan bangsa dan tanah air sesuai cita cita kesepakatan para pendiri NRI (the founding fathers) yakni untuk mencapai teori tujuan didirikan Negara RI sesuai tercantum di dalam UUD 1945 diantaranya mencerdaskan kehidupan bangsa, manuju rakyat yang adil sosial dan sejahtera.
Sehingga penolakan terhadap diri Gibran selain didasari bukti berupa fakta peristiwa hukum (data empirik), harus dengan upaya-upaya perjuangan yang berkesesuaian dengan sistem regulasi, dalam makna luas perjuangan "menghalangi Gibran" melulu tertib, normatif dan tidak melakukan praktik intimidasi, terorisasi dan tidak 'anarki-sasi'.

