Damai Hari Lubis: Proses Hukum Dugaan Ijazah Jokowi Harus Transparan dan Sesuai KUHP
Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Jakarta, Satuju.com — Pengamat Kebijakan Umum Hukum dan Politik (KUHP), Damai Hari Lubis, menyoroti polemik dugaan ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), yang hingga kini masih ramai dibicarakan publik. Ia menekankan pentingnya penyelesaian kasus ini melalui proses hukum yang transparan, akuntabel, dan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Memberikan keterangan palsu adalah pelanggaran hukum. Karena Indonesia adalah negara hukum, maka wajib dilakukan proses hukum terbuka dengan standar sistem hukum yang jelas, due process of law dan perlakuan yang sama di depan hukum (equal before the law),” kata Damai Hari Lubis.
Investigasi Dorongan Menyeluruh
Damai menilai, polemik yang menyeret nama Jokowi tidak bisa dianggap sepele karena keterlibatan tuduhan publik yang telah menyita perhatian luas, bahkan hingga tingkat internasional. Oleh karena itu, ia mendorong aparat penegak hukum, khususnya Polri, untuk melakukan penyelidikan secara komprehensif.
Ada lima langkah investigasi yang disebut penting dilakukan:
Klarifikasi dan verifikasi terhadap seluruh eks mahasiswa dan dosen Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) periode 1980–1985.
Pemeriksaan album wisuda alumni 1985 lintas fakultas.
Penelusuran dokumen sertifikasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan skripsi alumni Fakultas Kehutanan angkatan 1985.
Pemeriksaan ijazah asli beserta dokumen pendukungnya secara terbuka kepada publik.
Uji forensik digital terhadap ijazah, KKN, dan skripsi dengan melibatkan pakar forensik bersertifikat.
“Hasil dari kelima proses hukum ini akan menentukan siapa yang layak menjadi tersangka. Bisa Roy Cs atau bisa juga Jokowi,” tegas Damai.
Keadilan Restoratif untuk Roy Cs
Lebih lanjut, Damai menilai bahwa tuduhan masyarakat terhadap Jokowi sebenarnya berawal dari dugaan ketidaktransparanan yang justru datang dari pihak presiden sendiri. Oleh karena itu, ia berpendapat, apabila Roy, Rismon, dan anggota Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) dianggap bersalah dalam menyampaikan tuduhan, maka tuntutan yang dikenakan sebaiknya seringan-ringannya.
“Mereka hanya layak dituntut sekedar delik culpa lata atau bahkan culpa levis, yaitu bentuk ketidakadilan paling ringan. Karena tuduhan publik ini bermula dari blunder Jokowi dalam menjalankan asas keterbukaan,” ujar Damai.
Menurutnya, mekanisme restorative justice justru menjadi jalan ideal untuk mengakhiri polemik ini. “Kasus bisa ditutup dengan restoratif justice agar tidak berlarut-larut,” tambahnya.
Kritik terhadap Penegakan Hukum Era Jokowi
Damai juga mengkritik kondisi penegakan hukum di era kepemimpinan Jokowi yang ia nilai penuh dengan stagnasi dan kepentingan politik kekuasaan. Ia menyebut, banyak kalangan tetap meyakini bahwa ijazah Jokowi bermasalah, meski pihak UGM melalui Rektor Prof. Ova Emilia telah berulang kali menegaskan keasliannya.
“Jujur saja, meski UGM berteriak bahwa ijazah Jokowi asli, sebagian pihak masih berpendapat sebaliknya. Ini menjadi catatan buruk dalam sejarah penegakan hukum kita,” ungkapnya.
Harapan untuk Pemerintahan Prabowo
Menutup keterangannya, Damai menekankan bahwa pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto harus mampu memperbaiki citra buruk penegakan hukum yang terjadi pada masa Jokowi.
“Era Presiden Prabowo memerlukan antisipasi agar tidak dicatat sebagai estafet dari pola lama yang dikenal buruk. Sejarah harus mencatat kepemimpinannya sebagai era pemulihan hukum, ekonomi, politik, dan budaya, bukan kemunduran,” tutupnya.
Kontroversi yang Belum Usai
Hingga kini, polemik dugaan ijazah Jokowi masih menyisakan kontroversi. Di satu sisi, UGM menegaskan keaslian ijazah, sementara di sisi lain sebagian pihak terus meragukannya. Publik pun menunggu langkah konkret aparat penegak hukum untuk memberikan kepastian.

