Tone Deaf dan Kontroversi: Moral Publik Gibran dalam Sorotan

Gibran Rakabuming Raka

Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Satuju.com - Gibran tidak peka dalam konteks tuduhan terhadap ijazah SMA miliknya yang dianggap (diduga) sebagian publik cacat hukum, yang Ia gunakan sebagai Persyaratan menjadi calon Wapres RI yang sejak awal pemilu pilpres 2024 sudah ramai digunjingkan oleh para netizen atau masyarakat diberbagai media sosial dan saat ini perihal ijazah Gubran dimaksud menjadi objek perkara gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sehingga kasus Ijazah Gibran sama dengan  kasus ijazah Bapaknya (Jokowi), bahkan lebih parah karena penyimpangan ijazah yang dituduhkan kepadanya sudah sejak awal dan lebih transparansi diketahui publik dibanding ijazah bapaknya, yang baru ramai diduga publik iajazahnya palsu pasca selepas jabatan walikota Solo.

Terlebih proses pencawapresan Gibran kuat mengandung cacat konstitusi, sesuai putusan MKMK karena terbukti pamannya Anwar Usman dikenai sanksi adminstrasi berat, "diberhentikan dari jabatan Ketua MK dan hakim MK" dampak pola persidangannya terkait Judicial review batas usia 40 melalui nepotisme, sehingga melanggar etika hakim dan melanggar UU. Kekuasaan Kehakiman Jo. melanggar UU. Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Bebas dari KKN. Namun nyatanya KPU tetap meloloskan usianya yang baru 36 tahun walau belakangan 'substansial putusan MKMK menyatakan pelaksanaan persidangan adalah cacat hukum'. Sehingga menurut UU. Kekuasaan Kehakiman, terkait persidangan Putusan MK yang merubah batas usia pada UU. Pemilu dimaksud harus diulang kembali dengan susunan anggota Majelis hakim dan termasuk panitera kesemuanya harus berbeda.

Sehingga karakter Gibran tone deaf, atau dalam konteks sosial politik  kepekaannya lebih buruk dibanding Bapaknya, atau setidak tidaknya ekual, karena Gibran jelas-jelas tanpa rasa malu dan rasa bersalah, ditambah dengan perilaku moral dari akun fufu fafa yang 99 % menurut seorang pakar telematika adalah akun milik Gubran,  yang kontennya TIDAK BERADAB, dan narasinya kotor menjijikan, lalu banyak menghinakan dinakan Prabowo saat pra menjabat Presiden RI. Dan nyata Gibran tidak memprotes atau membantah atau melapotkan sang pakar andai memang akun fufu fafa bukan miliknya atau bukan penggunanya.

Maka 'nyata' Gibran baik dari sisi moral atas adab perilakuanya dan kualitas pendidikannya yang diduga sekedar SMP namun disulap dengan pola cawè cawe Kemendiknas melalui surat keputusan pendidikan formal menjadi setara SLA, lalu tanpa beban psikologis tetap 'ngotot berdampingan' tepat disebelah Presiden RI yang nota bene alumnus asli AKMIL pendidikan militer bergengsi, dan diduga kuat telah Ia hina dinakan melalui akun miliknya dengan nama 'fufu fafa'.

Sehingga bisa dibayangkan bagaimana kelak nasib anak bangsa ini? Akhirnya Negara RI quo vadis? Andai Gibran menjadi Presiden RI ke 9?