Menimbang Kembali Relevansi TAP MPRS XXV/1966 dan TAP MPR XI/1998 dalam Perspektif Konstitusi
Ilustrasi. (poto/net).
Penulis: Damai Hari Lubis, Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
(Ikhtisar, Komparasi prinsip antara TAP MPR XXV/ 1966 dengan TAP MPR RI/ 1998)
Satuju.com - Almarhum Soeharto amat besar jasanya selain Pemberantasan G 30 S PKI pada 1965 dan di era lahirnya TAP MPRS Nomor XXV Tahun 1966 Tentang Pembubaran Partai PKI dan Larangan menyebarkan paham komunis di Negara RI dikecualikan untuk "studi ilmiah". Walau TAP tersebut lahir atas jasa perjuangan Jendral TNI AD. A. Haris Nasution (AHN) selaku Ketua MPR (S), selain AHN pribadi termasuk salah seorang korban keganasan PKI tentunya sinergitas dengan pimpinan eksekutif Jendral Soeharto selaku Presiden RI saat itu.
Namun sejarah sosiologi politik dan hukum membuktikan entah siapa pembisiknya, Jokowi dengan kekuasaannya berulah, "memerintahkan Moh Mahfud MD selaku eksekutor "menyembelih TAP MPR anti bahaya laten" dimaksud, cukup dengan regulasi Kepres No.17 Tahun 2022 dan Inpres No. 2 Tahun 2023 yang levelitas Keppres dan Inpres tersebut, kualitas hukumnya 3 tingkat dibawah UUD. 1945, TAP. MPR dan Undang-Undang. Makna hukumnya diskresi politik Jokowi "mustahil konstitusional."
Pada kenyataannya daripada TAP MPRS RI XXV 1966 telah dirujuk lalu melahirkan sistim hukum positif dibawahnya yakni UU. Nomor 27 Tahun 1999 Tentang KUHP.
Sementara TAP MPRS No. XI/MPR/1998 adalah Ketetapan MPR Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan tertuang didalam pasal 4:
"Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglemerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak azasi manusia."
Dan TAP ini sudah dipatuhi dan dirujuk oleh pihak penguasa pemerintahan dan legislatif khususnya dengan kelahiran Undang Undang No. 28 Tahun 1999.
Lalu pertanyaannya keberlakuannya sampai kapan, sementara dan praktiknya TAP XI ini realitas disfungsi, bahkan jika diseksamai diantaranya para personal individu pada frase kroni justru sah mendirikan partai, dan Presiden RI saat ini merupakan bagian daripada pasal dimaksud termasuk lainnya bahkan diantaranya pada tahun 1999 sampai dengan 2004 para kroni almarhum presden Soeharto merupakan anggota legislatif, contoh Akbar Tanjung dan kawan kawan.
Sehingga, bisa diprediksikan TAP MPR XI/1998 diterbitkan bernuansa rasa sentimen dan penuh dendam dan obscur, sehingga implikasinya obscur (kabur), dan hanya ditujukan kepada segelintir orang (spesial dan khusus namun jamak dan tidak jelas, bukan kepada sebuah kelompok yang diketahui terorganisir atau terstruktur dan sistimatik dan masiv, serta pastinya negara gagal melaksanakannya, terkecuali melahirkan UU RI No. 28/ 1999 dan sampai saat ini belum pernah digunakan, oleh sebab terbitnya UU. Tentang KPK dan UU. Tentang TIPIKOR dan fakta sejarah hukum dan politik justru pihak utama "yang memaksakan reformasi" menjadi kepala negara pada 23 Juli 2001 sampai 20 Oktober 2004 serta tidak menggunakan kekuasaannya secara tegas, merujuk TAP MPR RI Nomor XI/1999 bahkan cenderung mengabaikannya, bahkan Megawati sempat berpasangan dalam pilpres 2009 dengan keluarga almarhum Soeharto. Dan terlebih aktivis yang gencar memperjuangkan reformasi saat ini sudah berada didalam kebinet Prabowo (Budiman Sudjatmiko).
Sehingga andai ditemukan kelalaian (culfa) pada pelaksanaan TAP MPR XI/98 menjadi beban moralitas oleh semua pemerintahan pasca 1998 Megawati dan SBY (orde reformasi).
Sehingga boleh dinyatakan, TAP MPR RI No. XI pada tahun sejak berlaku sudah dapat dianggap selesai dilakukan. Terlebih almarhum Soeharto telah meninggal dunia sehingga memenuhi asas dan teori hukum pidana tentang hapusnya tuntutan delik yang dilakukan, clear sesuai asas menurut pasal 77 KUHP dan mutatis mutandis TAP. MPR RI XI pasal 4 dengan sendirnya tidak berlaku lagi, selain cacat formal sehingga menjadi cacat pelaksanaannya, jika ada pihak pihak yang mencoba menyinggung atau berusaha mengkait-kainnya kembali, absolut adalah kekeliruan, selain melanggar HAM. Dan selebihnya oleh sebab hukum TAP MPR No. XI 1998 ini khususnya merupakan ranah hukum pidana yang harus berkepastian (rechtmatigheid) selain berfungsi utama demi keadilan (gerechtigheid). Namun nyatanya tidak dilakukan serta bertentangan dengan banyak kenyataan yang ada dan berlangsung. Sehingga MPR RI masa bakti 2024-2029 memiliki tanggungjawab moralitas dan sejarah hukum mencabut TAP MPR RI Nomor XI/1998 tersebut.
Sehingga jika dicerna secara substansial TAP MPR XI berbeda jauh dengan TAP MPRs RI Nomor XXV Tahun 1966 yang mengandung fakta dengan sejarah kebrutalan kelompok partai atau golongan PKI pembunuhan dalam unsur politik dan pastinya PKI merupakan kelompok golongan yang bertentangan dengan ideologi negara Pancasila Jo. Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 29 UUD 1945.
Sementara mantan Presiden Soeharto dan kabinetnya taat melakukan pencegahan terhadap penyebaran paham komunisme PKI sebagai 'bahaya laten negara' diantaranya melalui multi program edukatif, baik dibuku-buku sekolah, program mata pelajaran di sekolah sampai dengan perguruan tinggi, hingga dengan program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang terus dilakukan dibanyak ruang dan kesempatan dalam kehidupan bernegara dengan kata lain, Presiden Sorharto selaku mandataris MPR konsisten dan konsekuen mengemban amanah melaksanakan perintah TAP MPR Nomor XXV Tahun 1966 kontradiktif, sementara komparasi nyata program BPIP di era Jokowi yang justru kontroversial (kontraproduktif) daripada peran Pancasila sebagai ideologi negara.
Sehingga berkepastian bahwa terhadap kejahatan politik negara (ideologi) tidak pernah dilakukan oleh Presiden Soeharto dan kroni, dan tuduhan praduga tak bersalah yang ditujukan kepada kroni pun tidak pernah terbukti sesuai ranah pidana, dan terhadap eks Presiden Soeharto, demi hukum Jaksa Agung telah resmi menghentikan penuntutan pada tahun 2006 karena dianggap tidak layak diadili secara fisik dan mental, dan status terdakwanya dicabut setelah Pengadilan Tinggi Jakarta mengesahkan penghentian kasus tersebut, maka demi hukum kompleksitasnya nihil, selain telah berkepastian hukum sesuai fungsi tujuan hukum.
Oleh karenanya dapat disimpulkan, bahwa almarhum Jenderal Besar, Bapak Pembangunan Indonesia, Almarhum Jenderal Bintang 5 Emas Soeharto clear and clean terbebas dari TAP MPR RI No. XI/ 1999. Sehingga Beliau layak dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional.
Penulis adalah Advokat, Anggota Dewan Penasehat DPP. KAI, Kadivhum dan HAM DPP. KWRI serta Pakar Ilmu Peran Serta Masyarakat dalam Kebebasan Menyampaikan Pendapat.

