Kehormatan vs Kekuasaan: Filosofi yang Terlupakan

Ilustrasi. (poto/net).

Penulis: Optic Macca

Kehormatan sejati tidak dapat dituduh bersalah

Satuju.com - Kehormatan sejati tidak bisa diukur oleh opini orang lain atau hasil proses hukum. Ia tetap ada, bahkan ketika seseorang “dipaksa” kalah. Karena kebenaran dan kehormatan yang berasal dari Tuhan semata-mata adalah milik-Nya.

Sayangnya, tidak semua orang mampu memegang prinsip ini. Orang-orang yang memiliki kekuasaan namun tergelincir dalam kesehatan mentalitasnya sering bersekutu dengan pihak yang tidak benar, dan sengaja menghukum para korban. Fenomena ini menunjukkan bagaimana penyalahgunaan kekuasaan dapat mengikis empati, moralitas, dan rasa keadilan.

Dari perspektif filosofi, kedua pernyataan ini mengandung makna yang dalam. Mereka menekankan pentingnya integritas, kejujuran, dan keadilan, serta mengingatkan bahwa kehormatan sejati datang dari Tuhan, bukan dari pengakuan manusia atau keputusan hukum. Mereka juga menyoroti risiko moral yang muncul ketika kekuasaan disalahgunakan dan kesehatan mentalitas tidak dijaga.

Opini ini sejalan dengan pernyataan Ketua Komite Reformasi POLRI, Jimly Asshiddique, terkait isu ijazah: “Buktikan dulu ijazah benar atau tidak, Polri itu bukan pengadilan.” Ucapan Jimly menegaskan bahwa dalam persoalan hukum dan fakta, dasar yang rasional, logis, dan berbasis kompetensi lebih penting daripada spekulasi atau tekanan opini publik.

Kehormatan sejati, seperti yang tercermin dari filosofi ini, adalah berdiri tegak pada kebenaran dan integritas, bahkan ketika dunia mencoba menjatuhkan kita.