Khutbah Jannatul Husna: Makna Kepahlawanan dalam Islam di Momentum Hari Pahlawan

Jannatul Husna

Jakarta, Satuju.com - Hari Pahlawan adalah peringatan setiap tanggal 10 November untuk mengenang jasa para pahlawan yang telah berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, yang berawal dari peristiwa heroik Pertempuran Surabaya tahun 1945 melawan pasukan Sekutu. Spirit Hari Pahlawan yang diperingati bangsa Indonesia pada 10 November menjadi momentum introspeksi untuk memahami hakikat kepahlawanan dalam perspektif Islam.

Hal ini disampaikan oleh Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Jannatul Husna, dalam khutbah Jumat di Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jumat (14/11/2025).

Dalam khutbahnya, Jannatul Husna mengawali dengan merefleksikan anugerah gelar pahlawan kepada berbagai tokoh bangsa, mulai dari pejuang buruh seperti Marsinah, hingga pelopor pendidikan Islam bagi perempuan seperti Hajah RahmaH el Yunusiah, serta tokoh-tokoh lainnya.

“Kaum muslimin, pada kesempatan yang terbatas ini khatib ingin mencoba me-refresh ingatan kita tentang apa dan bagaimana pahlawan dan kepahlawanan itu di dalam Islam,” ujarnya.

Tiga Unsur Pahlawan dan Makna Bahasa Arab

Dijelaskannya, dalam bahasa Indonesia, pahlawan dan kepahlawanan minimal memuat tiga unsur utama: berani, rela berkorban, dan kesatria. Sementara dalam bahasa Arab, pahlawan atau pejuang sering disebut al-batal (jamak: al-abthal).

“Pahlawan atau pejuang itu adalah seorang pemberani yang mengabaikan luka dan tidak mempedulikan sakitnya itu, sehingga lukanya tidak menghalanginya untuk memberi pertolongan kepada orang lain,” terangnya, mengutip makna dari kamus bahasa Arab.

Khatib kemudian merujuk pada hadis riwayat Imam Muslim dari sahabat Abu Musa al-Asy’ari, di mana Rasulullah sAW ditanya tentang orang yang berperang dengan motivasi duniawi.

“Yaitu tentang seorang pejuang yang mati karena menginginkan harta rampasan perang (lil maghnam), yang ingin popularitas (lidzikri), atau yang ingin pangkat dan kedudukan (liyura maqamuhu),” paparnya.

Rasulullah, lanjutnya, tidak langsung mengomentari ketiga motivasi tersebut. Beliau justru mendefinisikan inti dari kepahlawanan sejati.

“Pejuang dan pahlawan di jalan Allah itu adalah man qatala li takuna kalimatullahi hiyal ‘ulya (mereka yang berjuang agar kalimat Allah-lah yang tertinggi). Inilah hakikat kepahlawanan dan kejuangan di dalam Islam,” tegas Jannatul Husna.

Oleh karena itu, siapapun yang memiliki sifat keberanian, suka menolong, dan jiwa kesatria, meski tidak mendapat tanda jasa dari negara, pada hakikatnya adalah pejuang selama nilai-nilai itu dimilikinya.

Menjadi Pahlawan di Era Kekinian

Khatib menegaskan bahwa menjadi pahlawan di jalan Allah sangat mungkin diwujudkan di era modern ini dengan dua syarat utama.

Pertama, Memiliki Keberanian (Asy-Syaja’ah).

Keberanian yang dimaksud adalah berani karena benar dan takut karena salah. Khatib mengutip sabda Nabi, “Qulil haqqa walau kana murran” (Katakanlah yang hak/benar sekalipun pahit dampaknya).

“Di era yang penuh fitnah ini, di era yang fakta dan kebenaran itu terbolak-balik, kebenaran sering dianggap sebagai kebohongan, sementara kebohongan justru dianggap sebagai kebenaran,” ujarnya mengingatkan.

Ia menambahkan, keberanian harus didukung oleh sistem yang baik. “Para ulama mengajarkan, al-haqqu bila nidhamin yaghlibuhul bathilu binidham. Kebenaran yang tidak terstruktur dapat dikalahkan oleh kebatilan yang terstruktur dan tersistematis,” jelasnya.

Kedua, Siap Berkorban.

“Hidup ini adalah perjuangan dan perjuangan itu butuh pengorbanan,” serunya.

Khatib menyampaikan pesan khusus bagi para mahasiswa dan dosen. Kepada mahasiswa, ia berpesan: “Kalau ingin menjadi pahlawan mahasiswa, maka berjuanglah, berkorbanlah, tinggalkan zona nyamanmu. Karena tidak mungkin ilmu dan pengalaman dicapai dengan berleha-leha.”

Sementara kepada para dosen, ia mengajak untuk menjadi “dosen pejuang” atau “dosen rabbani”. “Dosen yang tidak pernah berhenti belajar dan mengasah kemampuan dirinya, karena menjadi pendidik tidak berarti kita harus berhenti belajar,” imbaunya.

Pada khutbah kedua, Jannatul Husna mengingatkan agar orientasi perjuangan semata-mata untuk meninggikan kalimat Allah (li takun kalimatullahi hiyal ‘ulya) dan meraih keridhaan-Nya (li baiti mardhatillah).

Ia mengutip hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah tentang tiga golongan yang pertama kali diadili di hari kiamat, termasuk orang yang berjuang, bersedekah, dan berilmu, namun semua amalnya ditolak karena motivasinya hanya ingin disebut sebagai pahlawan (jari’un), dermawan (dzu jaidin), atau alim (‘alimun).

“Mudah-mudahan di akhirat kita tidak akan rugi. Begitu juga di dunia, ketika ternyata ada pahlawan dan pejuang yang disebut dengan pejuang atau pahlawan ‘kesiangan’,” pungkasnya.