Kesadaran yang Datang Ketika Semua Sudah Hangus

Ilustrasi. (poto AI)

Catatan Agus M Maksum

Satuju.com - Kadang kita bingung: harus memuji keberanian yang terlambat, atau menyesali kelengahan intelektual yang terlalu lama tertidur. Fenomena Sobari dan Henry Subiakto mengajarkan satu hal sederhana: kesadaran pun ada harganya.

Kesadaran yang Datang Setelah Lampu Padam

Kadang sebuah kesadaran datang terlalu terlambat.
Terlalu terlambat, seperti seseorang yang baru mencium bau asap setelah rumahnya tinggal arang.

Fenomena Sobari dan Henry Subiakto membawa saya pada hal itu: manusia-manusia yang baru terbangun ketika nyala api telah memakan tiang-tiang republik.
Mereka berkata, “kami baru melihat.”
Tapi apakah benar kegelapan begitu pekat sehingga mata yang terlatih pun tak mampu menangkap percikan pertama?

Jokowi—nama yang dulu dirayakan sebagai “rakyat jelata yang jadi presiden”—telah lama berjalan dalam jejak yang tak sunyi: pengerdilan lembaga hukum, pembungkaman kritik, dan ambisi yang meninggalkan aroma kekuasaan yang terlalu berani untuk disembunyikan.

Ini bukan peristiwa yang jatuh dari langit.
Ini peristiwa yang tumbuh: perlahan, berulang, dan bisa dibaca.

Pertanyaan sederhana pun menggantung:
Bagaimana dua intelektual yang terbiasa membaca gejala, tak mampu membaca gejala itu?

Barangkali memang begitulah manusia ketika dekat dengan pusat panas: mereka merasa hangat, sebelum menyadari bahwa yang mereka dekati bukan perapian, melainkan kompor yang siap meledak.

Kesadaran Sobari datang ketika konstitusi disobek demi anak presiden.
Kesadaran Henry datang ketika negara berubah menjadi panggung keluarga.
Namun, bukankah gejalanya sudah lama menampakkan diri?
Bukankah yang terbelah bukan hanya pasal-pasal hukum, tetapi juga kemampuan kita membedakan harapan dari ilusi?

Saya tidak ingin meremehkan keberanian mereka berkata, “saya salah.”
Keberanian seperti itu mahal, sering kali lebih mahal daripada loyalitas.

Tetapi ada yang lebih mahal dari semuanya: ketepatan waktu.

Kesadaran yang lahir terlambat selalu membawa bayangan rasa bersalah—seperti seseorang yang menyesal setelah membiarkan jendela terbuka ketika hujan telah merusak lantai dan buku-buku.

Sejarah memang begitu.
Ia tak menunggu kita siap.
Ia berjalan dengan atau tanpa kita membacanya.

Ada yang membaca lebih cepat, ada yang membaca lebih lambat, dan ada yang membaca hanya setelah huruf besar berubah menjadi bencana.

Mungkin Sobari dan Henry baru menyadari bahwa pemujaan itu telah merusak kemampuan kita untuk berpikir jernih.
Bahwa “merakyat” bisa berubah menjadi “memanfaatkan rakyat.”
Bahwa tepuk tangan bisa membutakan, dan janji-janji yang dulu manis bisa menyimpan racun yang tak tercium.

Pada akhirnya, republik ini bukan menunggu siapa yang pertama sadar, tetapi siapa yang tetap sadar ketika kesadaran itu masih menimbulkan risiko.

Catatan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk memberi tanda:
Kesadaran yang terlambat tetap penting, tetapi ia tak mengubah fakta bahwa kerusakan telah terjadi saat banyak dari kita memilih diam, atau sibuk merayakan pemimpin yang ternyata berjalan menjauh dari konstitusi.

Dan barangkali, seperti sejarah sering menyampaikan kepada kita:
Yang paling menyakitkan bukanlah kesalahan seorang pemimpin, tetapi keterlambatan orang-orang cerdas untuk melihatnya.