Ketika Hoax Menjadi Kebijakan dan Kebenaran Datang Terlambat

Ilustrasi. (poto AI)

Penulis: Agus M. Maksum

Satuju.com - Ada satu hal yang sering luput dari sejarah: bahwa yang pertama kali melihat api bukanlah negara, melainkan orang-orang di luar pagar istana. Kadang mereka ulama, kadang rakyat biasa, yang hadir bukan dengan kekuasaan, melainkan dengan kegelisahan.

Negeri ini, seperti banyak negeri lain, memiliki kebiasaan lama: tidak mempercayai suara yang datang dari luar barisan resmi.

Pada awal 2017, ketika gelombang 212 masih bergerak seperti arus besar yang tak tampak ujungnya, beberapa ulama mengetuk pintu negara. Mereka membawa laporan, bukan ancaman; kekhawatiran, bukan prasangka. Laporan itu mengenai satu perkara yang terus berdenyut: masuknya tenaga kerja asing, khususnya dari China, dalam jumlah yang tidak lagi bisa ditutup dengan bahasa birokrasi.

Namun negara, melalui seorang menterinya, memilih kata lain: “hoax.” Kata yang kini lebih sering dipakai untuk menenangkan diri daripada mencari kebenaran. Di meja Wiranto, keluhan itu dijawab dengan seloroh formal: ulama hanya melihat “wisatawan”—yang, ironisnya, lebih sering terlihat di smelter daripada di pantai.

Negara pun merasa lega. Dalam catatan resmi, tak ada yang perlu dirisaukan.

Bandara yang Tidak Dijaga, Suara yang Tidak Didengar

Seperti semua hal yang ditolak terlalu cepat, kebenaran tak berhenti menunggu. Ia berjalan pelan, masuk melalui celah-celah kecil, hingga muncul di tempat paling terang: sebuah bandara yang tak dibangun negara, namun melayani negeri lain lebih rajin daripada republik sendiri. Bandara IMIP.

Suatu ketika, bandara ini diberi status internasional tanpa kehadiran negara—tanpa imigrasi, tanpa bea-cukai, tanpa pengawasan yang seharusnya. Negara yang dulu menyebut kekhawatiran sebagai hoax, kini menemukan dirinya absen di lokasi yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

Ironi semakin nyata ketika ulama ingin berbicara, namun negara memilih siapa yang layak dianggap ulama. Daftar nama yang membawa suara umat dicoret oleh istana; yang tidak mengenal gelombang 212 dan tidak memimpin doa di tengah aksi, justru dimasukkan. Dialog lahir, tapi tanpa ruh. Tak satu pun persoalan yang membakar hati umat disinggung, tak satu pun luka yang dimohonkan ulama untuk dilihat dibahas. Bangunan dialog itu rapi di berita, kosong di dalam.

Mungkin begitulah hubungan negara dengan ulama di era itu: sebuah tarian penuh syarat, di mana langkah-langkahnya ditentukan oleh kalkulasi, bukan ketulusan.

Suara yang Dulu Ditolak, Kini Terbukti

Kini, ketika Menteri Pertahanan harus turun ke Morowali membawa intel tiga matra, ketika sebuah bandara “privat” harus dibersihkan dari keruwetan yang tak lazim, negara tersadar bahwa dirinya absen di pintu rumahnya sendiri.

Kita diingatkan pada satu hal sederhana: suara yang dulu ditolak sebagai hoax sering kali lebih cepat mengenali arah angin daripada negara yang merasa paling tahu.

Sejarah, dengan caranya yang tenang, hanya mengulang apa yang sejak awal ingin ia katakan: kadang kebenaran bukan tidak ada, kadang ia hanya tidak diberi kursi di ruang keputusan.

Jika negara terus memilih untuk tidak mendengar, maka ia tak perlu menunggu musuh untuk membuatnya rapuh. Penolakan terhadap kenyataan selalu lebih berbahaya daripada kenyataan itu sendiri.