Ketika Birokrasi Tenggelam Bersama Air: Gugatan untuk Presiden

Banjir

Penulis: Rosadi Jamani, Ketua Satupena Kalbar

Satuju.com - Orang ini saya bilang sangat berani. Masih sangat muda, ganteng lagi. Presiden digugatnya. Kalau kita ngeper duluan. Namun, ia tak peduli. Ia hanya ingin Presiden Prabowo meneken status darurat nasional. Simak narasinya sambil seruput kopi Senang asal Sorong dengan sedikit gula aren, wak!

Korban sudah mencapai 916 jiwa. Jenazah terbujur mereka tanpa sempat mengucapkan selamat tinggal. Sebanyak 274 orang hilang, seperti nama-nama yang terhapus dari daftar hadir semesta. Lebih dari 4.200 warga terluka, dan sekitar 849 ribu jiwa hidup di pengungsian, menatap langit tenda sambil bertanya, “Apakah negara masih ingat kami manusia?”

Rumah-rumah, sekitar 105.900 unit, hancur, ambruk, terseret lumpur seperti mainan yang dipinjam anak tetangga lalu tidak dikembalikan. Kota-kota di Aceh, Sumut, Sumbar berubah menjadi kolase bencana yang tak layak ditonton, apalagi hidup di dalamnya.

Tetapi di Jakarta, sebuah pena negara masih parkir. Tidak mogok. Tidak rusak. Hanya… belum dipakai. Inilah tragedi paling absurd, bukan banjir yang memukul rakyat, tetapi bencana tanda tangan yang tak juga jatuh di atas dokumen penetapan status bencana nasional.

Di tengah kekacauan itu, muncul sosok bernama Arjana Bagaskara Solichin, bukan superhero, bukan pejabat, bukan pesulap, tetapi seorang advokat yang memutuskan, jika negara tidak mau bergerak, maka ia akan menyeret negara ke pengadilan dengan tangan telanjang dan akta gugatan. Ia mendaftarkan perkara 415/G/TF/2025/PTUN.JKT pada 5 Desember 2025 dan dengan penuh keyakinan mengarahkan jarinya ke empat tergugat:

Tergugat I: Presiden Prabowo Subianto
Tergugat II: Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni
Tergugat III: Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa
Tergugat IV: Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto

Tapi semua orang tahu, fokus utama gugatan itu adalah Presiden. Kepala negara. Pemegang pena. Pemilik kunci status “bencana nasional.” Sang tokoh utama dalam opera tinta yang tak kunjung menetes.

Arjana dalam berkasnya menulis, “Banyaknya jumlah korban, kerusakan infrastruktur, kerugian harta benda, hingga lumpuhnya ekonomi dan sosial, tidak membuat banjir ini ditetapkan sebagai bencana nasional.” Kalimat itu terdengar sopan, padahal isi sebenarnya adalah, Pak Presiden, Sumatra sudah tenggelam. Apa Bapak menunggu airnya naik sampai lantai Istana?

Arjana menilai Tergugat I sampai Tergugat IV lalai. Lalai menghentikan deforestasi ilegal. Lalai memberikan dana penanggulangan maksimal. Lalai menetapkan status nasional padahal banjir sudah mengepung tiga provinsi seperti negara asing yang sedang melakukan invasi cair.

Ia bahkan menulis kalimat paling pedih dalam bahasa hukum, “Pembiaran tersebut dapat mengakibatkan hilangnya nyawa lebih banyak lagi.” Terjemahan bebasnya, jika pena telat, nyawa yang hilang tidak telat mengikuti.

Sementara itu, di lapangan, air tidak pernah menunggu rapat koordinasi. Aceh Tamiang punya 262 ribu pengungsi. Aceh Timur 163 ribu. Aceh Utara 115 ribu. Kabupaten Agam memikul 172 korban meninggal. Aceh Utara 128 meninggal. Tapanuli Selatan masih memegang gelar lokasi banjir bandang sejak 24 November.

Di tengah keputusasaan ini, ironi muncul dari langit-langit tenda pengungsian, pemerintah mengatakan penanganannya sudah skala nasional, meski statusnya belum nasional. Ibarat seseorang bilang, “Aku sayang kamu” tapi tidak mau hubungan disahkan. Atau seperti bilang, “Aku datang kok…” padahal masih di jalan, terjebak macet birokrasi.

Presiden Prabowo turun lagi ke Aceh, meninjau banjir, memantau evakuasi, menerima laporan. Semua tampak gagah, heroik, sinematik. Tapi bagi para pengungsi yang kehilangan segalanya, kunjungan itu menimbulkan satu pertanyaan, “Pak, jadi kapan Bapak tanda tangan?”

Karena tanpa tanda tangan itu, negara tetap tidak bisa bergerak full power. Bukan karena tidak mau, tapi karena dokumennya belum sah. Birokrasi adalah monster yang hanya tunduk pada tinta, bukan pada air mata.

Sementara itu, rakyat membantu rakyat lebih cepat dari negara. Anies Baswedan mengirim bantuan Rp 1,8 miliar berupa tiga truk logistik hasil donasi warga. Ini bukan kompetisi politis. Ini lebih seperti pesan sublim, “Kalau negara telat datang, rakyat yang turun tangan.”

Absurdnya lagi, di tengah tragedi ini, rakyat masih sempat menerima informasi lain dari dunia luar yang seolah sengaja mampir untuk menambah keanehan situasi. “Senin 8 Desember 2025, Timnas U22 Indonesia menghadapi Filipina di laga perdana Grup C SEA Games 2025. Kick-off pukul 18.00 WIB di Stadion 700th Anniversary of Chiang Mai, dan disiarkan langsung RCTI dan GTV.”

Di tenda pengungsian, informasi itu bukan hiburan, lebih seperti jeda iklan yang masuk di tengah film bencana yang belum selesai.

Di sinilah tragedi sebenarnya terkuak. Rakyat tidak menggugat banjir. Rakyat tidak menggugat alam. Rakyat menggugat Presiden, karena negara ada, tapi tidak sepenuhnya hadir. Karena kebijakan bergerak, tapi lambat. Karena pena berada di meja, tetapi diam.

Banjir ini bukan sekadar bencana alam. Ini bencana birokrasi. Bencana administrasi. Bencana di mana Sumatra tenggelam dalam air, tapi keputusan tenggelam dalam tumpukan berkas. Sampai tanda tangan itu jatuh di kertas, rakyat hanya bisa bertanya dengan suara paling lirih namun paling menusuk, “Pak Presiden, berapa banyak lagi yang harus pergi agar tanda tangan itu akhirnya turun dari singgasananya?”