Dalam Akad Nikah, Ini Perbedaan Mahar dan Maskawin
Ilustrasi. (poto/net).
Satuju.com - Mahar adalah pemberian wajib dari calon suami kepada calon istri saat akad nikah, sebagai simbol penghormatan, ketulusan, dan tanggung jawab.
Tak jarang, timbul kebingungan di kalangan masyarakat, apakah mahar dan maskawin itu dua hal berbeda atau sebenarnya sama saja.
Mahar dan maskawin merujuk pada pemberian harta dari pihak laki-laki kepada perempuan. Ini bukan hanya sekedar tradisi, melainkan simbol tanggung jawab dan ketulusan suami dalam memuliakan istrinya.
Perbedaan Mahar dan Maskawin
Tidak ada perbedaan antara mahar dan maskawin, keduanya memiliki arti dan makna yang sama. Perbedaan hanya terletak pada bahasa yang digunakan, mahar berasal dari bahasa Arab, sedangkan maskawin dari bahasa Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mahar didefinisikan sebagai pemberian wajib berupa uang atau barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika melangsungkan akad nikah. Istilah lain mahar adalah maskawin.
Dikutip dari buku Fiqih Praktis II susunan Muhammad Bagir, mahar dalam kata bahasa Arab 'mahr' atau maskawin adalah sejumlah uang atau barang yang diberikan (dijanjikan) oleh seorang suami kepada istrinya, pada saat mengucapkan akad dalam pernikahan.
Mahar atau maskawin merupakan simbol penghargaan yang diberikan suami kepada istrinya yang telah bersedia menjadi pendamping dalam kehidupan mereka selanjutnya, serta tanda bahwa suami memikul tanggung jawab atas kesejahteraan dan keselamatan lahir batin istri dan anak-anak yang akan lahir dari mereka berdua.
Maka dari itu, mahar menjadi mutlak bagi istri, tak seorang pun baik suami, orang tua, atau anggota keluarga lain memiliki hak untuk menggunakannya dalam kepentingan apa pun, kecuali atas dasar izinnya.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' ayat 4,
وَاٰتُوا النِّسَاۤءَ صَدُقٰتِهِنَّ نِحْلَةً ۗ فَاِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوْهُ هَنِيْۤـًٔا مَّرِيْۤـًٔا
Artinya: "Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati."
Besaran Mahar atau Maskawin
Masih dinukil dalam buku yang sama, tidak terdapat ketentuan pasti terkait besaran mahar menurut agama, mengingat manusia berbeda-beda dalam hal kekayaan dan kemiskinan, serta adat-istiadat masing-masing daerah.
Maka seorang suami bisa menentukan besaran mahar berdasarkan kesepakatan antara kedua keluarga dan sesuai dengan kemampuan dan kebiasaan di masing-masing daerah.
Mahar haruslah sesuatu yang dapat diambil manfaatnya, baik berupa uang (walau sedikit), atau berbentuk cincin (walau sederhana), beberapa kilogram beras atau makanan lainnya, bahkan pengajaran tentang Al-Qur'an jika telah disepakati bersama.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Sahl bin Sa'd bahwa Rasulullah SAW pernah didatangi seorang perempuan dan berkata kepada beliau: "Kuserahkan diriku untuk kau kawini, wahai Rasulullah!"
Ia berdiri cukup lama, namun Rasulullah tidak mengucapkan sesuatu, sehingga seorang lak-laki yang hadir di situ berkata, "Ya Rasulullah, kawinkanlah ia denganku, apabila Anda tidak menginginkannya."
"Apakah engkau memiliki sesuatu untuk maharnya?" tanya Nabi Muhammad SAW.
"Tidak ada yang kumiliki selain sarungku ini," jawab laki-laki itu.
"Tapi jika kau berikan sarungmu itu sebagai maharnya, engkau tidak mempunyai sesuatu untuk kau kenakan! Carilah sesuatu lainnya, walau sebentuk cincin dari besi!"
Orang itu pergi sebentar dan kembali lagi sambil berkata, "Aku tidak mendapat sesuatu, ya Rasulullah!"
"Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur'an (untuk diajarkan kepadanya)?" tanya beliau.
"Ya, surah ini dan surah ini (sambil menyebutkan beberapa surah)."
"Kalau begitu, ku kawinkan engkau dengan perempuan ini, dengan mahar berupa apa yang kamu hafal dari Al-Qur'an!" Sabda Nabi SAW. (HR Bukhari dan Muslim)
Mahar dalam perkawinan tidaklah harus berupa uang atau benda, tetapi segala sesuatu yang bermanfaat, yang terpenting adalah persetujuan dari calon istri, tidak bergantung pada banyak atau sedikitnya mahar tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diriwayatkan oleh Imam Syafi'i.
Meski demikian, para ulama madzhab Hanafi mensyaratkan mahar tidak boleh kurang dari sepuluh dirham, sedangkan madzhab Maliki menetapkan paling sedikit tiga dirham.

