Dua Pekerja Diseret ke Meja Hukum karena 80 Kg Sawit, Publik Pertanyakan Nurani Polsek Tapung Hulu
Istri Korban. (poto/ist)
Tapung Hulu, Satuju.com – Publik kembali dibuat tercengang oleh kasus penegakan hukum yang dinilai tidak proporsional dan jauh dari rasa keadilan. Dua pekerja rendahan PT ATS II (Arindo Tri Sejahtera), Darman Agus Gulo dan Herianto, ditetapkan sebagai tersangka oleh Polsek Tapung Hulu setelah kedapatan mengambil 80 kilogram brondolan sawit barang dengan nilai kerugian sekitar Rp400 ribu, tak lebih mahal dari sepasang ban motor bekas.
Meski nilai kerugian terbilang kecil, penyidik menetapkan keduanya dengan pasal 372/374 KUHP, pasal yang lazim digunakan untuk penggelapan berbasis jabatan atau kerugian bernilai besar. Publik menilai penggunaan pasal ini sebagai langkah yang “sadis”, tidak proporsional, bahkan diduga merupakan bentuk “pasal pesanan”.
Upaya Restorative Justice Ditolak Perusahaan
Pemerintah Desa Sumber Sari melalui Kepala Dusun V, Guna, bersama Camat Tapung Hulu (diwakili Sam), dan Ketua serta Sekretaris Pers Keadilan Tapung Hulu beberapa kali mengupayakan solusi damai dengan mengundang PT ATS II untuk mediasi lewat jalur Restorative Justice.
Namun dalam dua undangan resmi yang juga difasilitasi Polsek Tapung Hulu, perusahaan mangkir tanpa alasan. Panggilan terakhir pada Rabu, 10 Desember 2025, pun tidak digubris. Tidak ada surat jawaban, tidak ada penjelasan, dan tidak ada itikad baik.
Sikap perusahaan ini memunculkan pertanyaan tajam dari masyarakat: Apakah korporasi kini lebih berkuasa dari negara? Dan mengapa aparat tampak lebih keras pada rakyat kecil daripada berupaya mencari penyelesaian yang berkeadilan?
Ketika Diskresi Hukum Dipasung dan Rasa Kemanusiaan Hilang
Sejumlah tokoh masyarakat menilai aparat telah gagal menggunakan diskresi dalam kasus dengan nilai kerugian kecil dan pelaku yang merupakan warga lokal serta pekerja kasar. Keduanya diketahui memiliki kondisi keluarga sulit, salah satunya bahkan memiliki bayi berusia empat bulan.
Permohonan maaf resmi dari keluarga, serta rekomendasi damai dari desa dan kecamatan, gagal mengubah sikap penyidik. Proses hukum terus berjalan dengan pendekatan paling keras.
“Jika hukum tidak lagi memandang manusia di balik kasus, maka yang bekerja bukan hukum, tapi mesin tanpa hati,” keluh salah satu warga.
Tangis Istri Korban: “Kami Hanya Ingin Hidup”
Istri salah satu tersangka bahkan bersedia menandatangani surat permohonan maaf dan menerima pemecatan suaminya tanpa pesangon. Langkah itu dilakukan demi menghindari penahanan. Namun baik perusahaan maupun aparat tidak menunjukkan respons kemanusiaan.
Kini masa depan keluarga kecil itu dipertaruhkan, seolah hukum sedang menjadi alat pemukul bagi mereka yang paling lemah.
Jawaban Kapolsek Tuai Kritik
Saat dikonfirmasi wartawan, Kapolsek Tapung Hulu, Iptu Riko Rizki Mazri SH MH hanya menyampaikan jawaban singkat dan formal:
“Terima kasih banyak Bg. Baik Bg. Segera kami berikan jawaban secara resmi… untuk memberikan kepastian hukum.”
Jawaban tersebut dinilai publik terlalu dingin dan kaku, jauh dari tanggung jawab moral yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin penegak hukum di tengah keresahan masyarakat.
Pertanyaan Besar: Di Mana Negara Saat Rakyat Kecil Membutuhkan Keadilan?
Kasus ini memantik refleksi mendalam. Jika rakyat kecil dihukum karena brondol sawit 80 kilogram, sementara dugaan pelanggaran lebih besar oleh korporasi tidak tersentuh, maka ke mana arah hukum negeri ini?
Jika hukum diperlakukan sebagai komoditas, maka:
“Apakah hukum masih menjadi alat keadilan, atau telah menjelma menjadi budak korporasi?”
Kasus ini bukan lagi soal brondolan sawit. Ini adalah potret bagaimana keadilan bisa condong, bagaimana suara yang lemah bisa tenggelam, dan bagaimana masyarakat kecil merasa dicampakkan oleh negara.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan hanya masa depan dua pekerja, tetapi martabat hukum itu sendiri.(PJR.S)

