95 Persen Fico Optimis Bahwa Bank Memakai Sistem Anti Pencucian Uang
Survei terbaru dari perusahaan global yang membuat perangkat lunak untuk analisis, FICO, mengungkap, sebanyak 95 persen bank di Indonesia optimis bahwa kecerdasan buatan (AI) akan memperkuat upaya Anti Pencucian Uang (APU).
Survei ini menunjukkan sejumlah tantangan penting bagi solusi kepatuhan APU yang tengah digunakan di Asia Pasifik, kemampuan mengatasi jenis-jenis risiko baru yang mengancam sistem kepatuhan APU pada kanal dan produk perbankan.
Dan kapasitas untuk menyediakan solusi kepatuhan yang terintegrasi secara lengkap; serta sarana yang diperlukan untuk mengubah regulasi dengan cepat.
Di Asia Pasifik, bank-bank multinasional yang berskala lebih besar lebih berpeluang untuk memakai solusi buatan vendor untuk APU. Sedangkan, sistem internal lebih banyak digunakan bank-bank domestik.
Namun, di Indonesia masih banyak bank yang ragu-ragu untuk menerapkan teknologi mutakhir tersebut. Poin-Poin Pentingnya, 95 persen bank di Indonesia optimis bahwa kecerdasan buatan / Artificial Intelligence (AI) akan menghentikan Anti Pencucian Uang (APU).
100 persen bank di Indonesia ini kini masih meyakini efektivitas teknologi lama yang berbasiskan regulasi untuk kepatuhan APU. Namun, 91 persen bank sangat kesulitan mengubah sistem tersebut.
Di Indonesia, 100 persen bank ingin berinvestasi dalam sistem kepatuhan APU guna mengatasi kejahatan keuangan selama satu tahun ke depan. Sementara, 95 persen bank ingin menambah investasi ini secara besar-besaran pada 2021.
Financial Crimes Leader, Asia Pasifik, FICO, Timothy Choon, mengaku saat ditanyai tentang efektivitas teknologi lama yang berbasiskan regulasi, 100 persen bank di Indonesia masih meyakini kemampuan sistem APU tersebut.
"Meski demikian, 91 persen bank sangat kesulitan menyesuaikan sistem ini. Sistem kepatuhan berdasarkan regulasi masih diandalkan sejumlah bank di Asia Pasifik untuk mengatasi kejahatan keuangan," kata Timothy Choon, dalam rilis yang diterima redaksi, Rabu (2/9/20).
Namun, beberapa bank yang lebih dulu memakai sistem ini mulai memanfaatkan AI, dan menyadari sistem berbasiskan regulasi yang telah berusia satu dekade tidak mampu menangani ancaman modern.
"Kunci rahasianya ialah penerapan teknologi AI yang mutakhir, dan membuatnya mampu bekerja sama dengan sistem berbasiskan regulasi. Bahkan, 20 persen responden memilih faktor tersebut sebagai hambatan utama dalam memenuhi target-target mitigasi risiko yang terkait dengan kejahatan keuangan."
Faktor-faktor penting dalam strategi mengatasi kejahatan keuangan, ialah salah satu indikator utama yang mengubah strategi penanganan kejahatan keuangan ialah pengalaman pelanggan.
Lebih dari dua di antara lima responden menilainya sebagai faktor terpenting, dan 17 persen bank di Asia Pasifik menjadikannya faktor penting setelah pendekatan saat ini dan masa depan.
"Kami mencermati, sebagian besar bank berupaya untuk menyeimbangkan strategi antara aspek kepatuhan regulasi dan pengalaman pelanggan," kata Choon.
"Banyak bank kesulitan memperoleh informasi yang lebih banyak guna memenuhi segudang peringatan APU akibat sistem yang tak efektif. Di sisi lain, bank enggan merepotkan nasabah dengan daftar pertanyaan yang diajukan secara terus-menerus," ulasnya.
Beberapa faktor lain yang berada di urutan kedua dan ketiga termasuk rusaknya reputasi bank dan kerugian finansial yang bersifat langsung.
Dimana saat menghadapi tantangan kejahatan keuangan, hampir setengah responden mengutamakan kecepatan respons atas ancaman-ancaman baru, sementara, sepertiga responden beranggapan bahwa deteksi yang akurat tetap menjadi tes penting.
Solusi kepatuhan regulasi yang lengkap dari FICO memanfaatkan sejumlah teknik machine learning yang dirancang untuk mengatasi sejumlah tantangan tersebut.
Solusi ini meningkatkan akurasi deteksi secara drastis lewat model analisis mutakhir yang dipatenkan FICO, seperti Soft Clustering Misalignment dan Threat Score.
Kedua model tersebut dapat membantu lembaga keuangan untuk menerapkan AI dalam strategi kepatuhan yang telah dimiliki.**

