Presiden Threshold dan Masa Depan Demokrasi Indonesia
Teks poto : Atan Darham Mahasiswa semester 2 Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning.
Terhitung semenjak Pilpres tahun 2014 Threshold mulai dilaksanakan. Jika, ditahun 2024 mendatang Presiden Threshold tetap dilanjutkan. Maka, genap dua dekade kita telah menggunakan presiden threshold dalam pilpres di Indonesia.
Dalam Menuju dua dekade ini,
telah banyak tumbuh kesadaran dari berbagai lapisan masyarakat.
Dimulai dari, individu, keorganisasi masyarakat (ormas), akademisi. Karyawan swasta, mantan Panglima TNI yang mendiskusikan presiden thresold ini dan bahkan sampai melakukan Uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Terhitung sudah tiga belas kali gugatan itu diajukan. Meskipun ditolak, namun pembahasannya tetap menjadi sebuah santapan diskusi yang cukup menggiurkan dikalangan elit atau kelompok tertentu disaat hari menuju 2024 telah dekat dan bahkan 2023 pencalonan telah dibuka, sementara masalah presiden Threshold masih belum final.
Sebelum kita mengupas lebih dalam, perlu kita ketahui bahwa
dalam buku berjudul Kamus Pemilu Populer: Kosa Kata Umum, Pengalaman Indonesia, dan Negara Lain karangan Gotfridus Goris Seran menyebutkan bahwa presidential threshold adalah suatu ambang batas suara yang harus diperoleh oleh partai politik dalam suatu gelaran pemilu untuk bisa mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden
Di Indonesia, sistem presidential threshold pertama kali diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umur Presiden dan Wakil Presiden yang saat ini sudah tidak berlaku lagi. Dalam pemilihan presiden dan wakil presiden tahun 2004, 2009, dan 2014, mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2003 dengan menggunakan ambang batas hasil pemilihan legislatif yang telah dilaksanakan sebagai dasar pencalonal presiden dan wakil presiden. Namun, sejak adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum atau UU Pemilu aturan presidential threshold berubah karena pemilihan legislatif dan eksekutif dilakukan secara serentak sehingga ambang batas yang dipakai adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya. Banyak ahli yang mengatakan bahwa menggunakan hasil suara ini sebenarnya kurang relevan, dikarenakan. Suara yang sebelumnya belum tentu mewakili suara yang saat ini. Semuanya berubah. Tergantung dari peran dan kinerja dari anggota legislatif itu sendiri. Selanjutnya Calon presiden diwakili suara partai dari pemilu sebelumnya. Pada hal belum tentu suara yang ada saat itu adalah merupakan suara yang terjadi saat ini
Kemudian kita masuk dalam perspektif analisis Yuridis, filosofis dan sosiologis terhadap presiden Threshold ini.
Dalam Analisis Yuridis.
Secara yuridis, pemberlakuan Presidential Threshold tidak sejalan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan: “Pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.” Tafsir gramatikal dan tekstual dari pasal ini menggambarkan bahwa setiap partai politik peserta pemilu berhak mengajukan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden serta tidak memberikan pengecualian, apalagi batasan terhadap partai politik peserta pemilu untuk mencalonkan pasangan presiden dan wapres. Dengan diberlakukannya ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden, artinya hukum membatasi hak seseorang untuk dipilih dan maju dalam pencalonan presiden dan wakil presiden karena tersendat untuk mencapai presentase angka paling sedikit 20% dari jumlah kursi di DPR. Padahal fakta menunjukkan untuk mencapai angka 20% bukanlah hal yang mudah, bahkan beberapa partai politik besar saja harus berkoalisi dahulu dengan sesamanya untuk mencapai angka 20% tersebut.
Kemudian Analisis Filosofis.
Pemberlakuan Presidential Threshold dapat mengkebiri hak politik (hak dipilih dan memilih) rakyat untuk mendapatkan presiden dan wakil presiden terbaik karena terkendala oleh ambang batas tersebut. Filosofi dari pemilihan umum adalah menyangkut hak dipilih dan memilih sesuai dengan esensi negara demokratis. Hemat penulis, hak memilih berbanding lurus dengan hak dipilih, artinya pemilih harus memilih calon yang memang disediakan oleh sistem yang konstitusional dan tidak mengikuti selera politik oligarkis. Hak pemilih adalah untuk mendapatkan akses terhadap banyak alternatif calon presiden dan wakil presiden sesuai konstitusi.
Tersiratnya, pembatasan calon berarti membatasi saluran politik pemilih dan dalam derajat tertentu mendorong voters turn out dalam bentuk golput, karena calon terbaik menurut mereka tidak dapat menjadi riil pasangan calon presiden dan wakil presiden akibat pembatasan tersebut. Sebaliknya, penghapusan Presidential Threshold berarti membuka saluran politik rakyat dan dalam derajat tertentu meningkatkan partisipasi pemilih karena daya tarik calon presiden-wapres yang lebih banyak pilihan alternatifnya.
Terkahir Analisis Sosiologis.
Kehadiran Presidential Threshold berpotensi mengganggu dan menghambat kinerja presiden terpilih serta mengacaukan jalannya roda pemerintahan. Pemberlakuan ambang batas ini “memaksa” partai politik untuk berkoalisi, karena diyakini tidak akan ada partai politik yang mampu meraih suara mayoritas untuk memenuhi perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu DPR sebelumnya.
Dukungan partai politik kepada pasangan calon tentu tidak gratis, pasti ada hubungan timbal balik dibalik itu semua. Partai politik pendukung pasti meminta kompensasi sebesar-besarnya atas suaranya, akhirnya terjadi tarik menarik kepentingan politik-ekonomi dengan partai-partai yang menyokong nama calon presiden dan wakil presiden. Dengan terjadinya kompromi tersebut sesungguhnya presiden sudah mengebiri hak-hak prerogatifnya sendiri jauh hari sebelum ia mengikrarkan sumpah dan janji jabatannya. Dalam perekrutan menteri, misalnya, presiden tidak bisa lagi sepenuhnya menggunakan hak yang diberikan konstitusi, karena harus menimbang “pasal-pasal perjanjian pranikah” dengan parpol-parpol pendukungnya. Akibatnya, faktor profesionalisme tergeser oleh kepentingan politik pragmatis. Sehingga keindependensian presiden dan wakil presiden patut dipertanyakan. Khawatirnya presiden terpilih pun terkesan tidak lagi memiliki kontrol penuh atas pembantu-pembantunya. sekalipun penyimpangan sudah ramai diberitakan, namun karena “perjanjian pra nikah” yang sudah ditandatangani, presiden tidak bisa menindak menterinya yang “disersi” itu. Sehingga Presidential Threshold ini, secara tidak langsung dapat menjadi bumerang bagi presiden terpilih.
Selain itu, dengan sistem pemilihan umum yang seperti ini, tidak akan lahir seorang pemimpin negara dari kalangan negarawan. Sebaliknya, yang ada hanyalah pemimpin negara dari kalangan politisi. Padahal seorang negarawan sangatlah dibutuhkan, namun sulit dicari di era reformasi dan di tengah dengung demokrasi yang semakin menguat. Calon presiden dari kalangan independen bisa saja menjadi sebuah oase, namun sistem perpolitikan di negara ini belumlah menghendaki dan siap menghadapi oase tersebut.
Dikhawatirkan penerapan Presidential Threshold adalah permainan politik partai-partai besar dalam membuat konspirasi jahat untuk menghalangi peluang bagi munculnya calon presiden dan wakil presiden lain di luar partainya. Sehingga menurut hemat penulis, pemberlakuan Tresidential Threshold ini sudah tidak relevan lagi jika masih di terapkan dalam sistem pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia yang terkesan inkonstitusional. Jika benar inkonstitusional, maka kacaulah sistem pemerintahan bangsa ini, sebab pemimpin negaranya saja tidak mempunyai legitimasi dalam menjalankan roda pemerintahan.
Penghapusan ambang batas pencapresan menjadi salah satu solusi konkret yang dapat menghadirkan putra-putri terbaik dari setiap partai politik, dengan tidak mengesampingkan proses berbangsa dan bernegara yang sudah seharusnya kita junjung tinggi. Penulis percaya bahwa setiap partai politik pasti memiliki cita-cita yang sangat tulus untuk bersama membangun bangsa, namun oknum yang mengotori partai politik haruslah dibersihkan. Penghapusan ambang batas pencapresan adalah salah satu itikad baik apabila kita memang ingin memperbaiki bangsa secara bersama-sama. Marilah kita sama-sama mencari calon pemimpin bangsa yang mampu menyentuh hati dan merangkul nurani tiap-tiap masyarakat Indonesia dan dapat bertindak arif bijaksana menuju Indonesia aman sejahtera.
Penulis : Atan Darham
Mahasiswa semester 2
Ilmu Hukum Universitas Lancang Kuning.

